Senin, 15 Maret 2021

APA YANG DIKATAKAN ALKITAB TENTANG

HAL MENGUMPULKAN HARTA

MATIUS 6.19-24

Matius 6:19-24 dalam Terjemahan bebas: 19  "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.20  Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.21  Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.22  Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; 23  jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. 24  Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan k
epada Mamon."

 Pemikiran duniawi merupakan gejala kemunafikan yang sama lumrahnya dan sama berbahayanya seperti gejala kemunafikan lainnya. Tidak ada dosa lain lagi selain dosa ini yang dengannya Iblis dapat mencengkeram jiwa manusia dengan lebih erat dan lebih cepat, di balik jubah keagamaan yang dapat dilihat orang dan yang tampak bersifat baik. Oleh sebab itu, setelah Kristus memperingatkan kita agar tidak mendambakan kehormatan manusia, Ia selanjutnya memperingatkan kita agar tidak mendambakan kekayaan dunia. Dalam hal ini pula kita harus berjaga-jaga, supaya kita tidak menjadi seperti orang-orang munafik, dan berbuat seperti yang mereka perbuat. Kesalahan mereka yang mendasar adalah bahwa mereka memilih dunia sebagai upah mereka. Oleh karena itu, kita harus berjaga-jaga terhadap kemunafikan dan pemikiran-pemikiran duniawi dalam memilih harta kekayaan kita, tujuan akhir kita, dan tuan-tuan yang ingin kita layani.

I. Dalam memilih harta yang kita kumpulkan. Setiap orang mempunyai satu atau lain hal yang dijadikannya sebagai hartanya, bagiannya, tempat hatinya berada, tempat ia mengumpulkan segala sesuatu yang dapat ia peroleh, dan yang dijadikannya sebagai andalan untuk masa depan. Hal-hal yang baik, yang terbaik, inilah yang dibicarakan Salomo dengan penekanan khusus (Pkh. 2:3). Inilah sesuatu yang ingin dimiliki jiwa, yang dipandangnya sebagai hal terbaik, yang dipercayai dan diyakininya melebihi segala sesuatu. Nah, Kristus tidak bertujuan untuk merampas harta kita, melainkan untuk mengarahkan kita dalam menentukan pilihan atas harta kita, dan di sini kita dapat melihat:

Peringatan yang baik agar kita tidak menjadikan hal-hal yang tampak, yang hanya sementara, sebagai hal yang kita anggap paling penting, dan    agar kita tidak mengandalkannya untuk memberi kita kebahagiaan. Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi. Murid-murid Kristus telah meninggalkan segalanya untuk mengikut Dia, biarlah mereka tetap berpikiran baik seperti ini. Harta adalah sesuatu yang berlimpah, yang dengan sendirinya sangat bernilai dan berharga, atau setidaknya menurut pendapat kita sangat berharga. Namun, harta itu juga dapat menghalang-halangi jalan kita menuju kehidupan kekal. Nah, kita tidak boleh mengumpulkan harta di bumi, yang berarti bahwa:

(1) Kita tidak boleh menganggap hal-hal ini sebagai hal yang terpenting, atau yang paling berharga, atau yang paling bermanfaat bagi diri kita. Janganlah kita menganggapnya sebagai kemuliaan, seperti yang dilakukan putra-putra Laban, melainkan kita harus memandang dan mengakui bahwa harta itu tidak mempunyai kemuliaan jika dibandingkan dengan kemuliaan yang mengatasi segala sesuatu.

(2) Kita tidak boleh mendambakan kelimpahan dalam hal-hal ini, atau terus mengejarnya dan memperbanyak jumlahnya, seperti yang dilakukan orang-orang dengan hartanya, seakan-akan kita tidak pernah tahu kapan semuanya ini sudah cukup bagi kita.

(3) Kita tidak boleh mengandalkannya untuk masa depan kita, untuk dijadikan jaminan dan persediaan bagi masa mendatang. Janganlah kita berkata kepada emas, "Engkaulah perlindunganku."

(4) Janganlah kita berpuas diri dengan hal-hal itu dan menganggapnya sebagai satu-satunya hal yang kita perlukan dan kita inginkan. Kita harus merasa puas dengan hanya sedikit harta untuk perjalanan hidup kita, tetapi jangan menuntut semua harta untuk dijadikan sebagai bagian milik kita. Semuanya ini tidak boleh dijadikan penghiburan bagi kita (Luk. 6:24), atau segala yang baik bagi kita (Luk. 16:25). Marilah kita perhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa kita mengumpulkan harta bukan bagi anak-cucu kita di dunia ini, melainkan bagi diri kita sendiri di dunia yang akan datang. Semua terserah pada pilihan kita, dan kita adalah pemahat-pemahat yang membentuk diri kita sendiri. Harta yang kita kumpulkan bagi diri kita sendiri adalah milik kita. Kita harus memilih dengan bijaksana, karena kita memilih untuk diri kita sendiri, karena kita sendiri yang akan menerima apa yang kita pilih. Jika kita mengetahui dan memandang diri kita sebagai siapa kita sebenarnya, untuk apa kita diciptakan, seberapa besar kemampuan kita, dan berapa lama kita akan hidup, dan bahwa jiwa kita adalah diri kita yang sesungguhnya, maka kita akan melihat betapa bodohnya mengumpulkan harta di bumi.

Berikut ini diberikan alasan yang baik mengapa kita tidak boleh memandang hal apa pun di bumi sebagai harta kita, sebab harta di bumi dapat lenyap dan rusak.

(1) Karena kerusakan dari dalam. Harta di bumi dapat dirusak ngengat dan karat. Jika harta itu berupa pakaian mewah, ngengat akan memakannya, dan pakaian itu akan menjadi rusak parah, dan sampai akhirnya habis, padahal kita menyangka bahwa pakaian ini telah disimpan dengan sangat aman. Jika harta itu berupa gandum atau bahan-bahan makanan lain, seperti yang dimiliki orang kaya yang lumbung-lumbungnya penuh dengan gandum (Luk. 12:16-17), karat (begitulah yang kita baca) akan merusakkannya. Brōsis -- dimakan, dimakan manusia, sebab dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang yang menghabiskannya (Pkh. 5:10), dimakan tikus atau binatang kecil lain. Manna pun mengeluarkan ulat, atau menjadi berjamur dan apak, berwarna kehitam-hitaman, atau dibuang dan dimusnahkan. Buah-buahan pun membusuk dengan cepat. Atau, jika itu emas dan perak, benda-benda ini pun dapat menjadi kusam. Semakin sering dipakai, benda-benda ini akan semakin aus, dan semakin lama disimpan akan menjadi semakin buruk (Yak. 5:2-3). Karat dan ngengat berkembang di dalam logam dan pakaian itu sendiri. Perhatikanlah, kekayaan duniawi pada dasarnya bisa rusak dan lapuk, serta akan hancur dengan sendirinya, dan tiba-tiba lenyap.

(2) Karena tindak kekerasan dari luar. Pencuri membongkar serta mencurinya. Setiap pelaku kekerasan akan mengincar rumah yang menyimpan banyak harta. Juga tidak ada suatu hal apa pun yang dapat disimpan dengan begitu aman, sebaliknya, kita akan menjadi kehilangan. Numquam ego fortunæ credidi, etiam si videretur pacem agere; omnia illa quæ in me indulgentissime conferebat, pecuniam, honores, gloriam, eo loco posui, unde posset ea, since metu meo, repetere -- Aku tidak pernah menaruh kepercayaan pada harta, meskipun harta tampak sangat menguntungkan; apa pun kenikmatan yang dapat diberikan oleh kelimpahannya, baik kekayaan, kehormatan, maupun kemuliaan, aku membuang semuanya itu sehingga meskipun harta memang masih dapat mengingatkan aku pada semuanya itu, namun sama sekali tidak menimbulkan kegelisahan dalam diriku (Seneca Consul. ad Helv.). Sungguh bodoh menjadikan sesuatu yang dengan begitu mudahnya dapat dirampas dari kita sebagai harta kita.

Nasihat yang baik, untuk mendatangkan sukacita dan kemuliaan dari dunia yang akan datang, yaitu hal-hal yang tersembunyi dan kekal, sebagai hal yang terpenting bagi kita, serta untuk mengandalkannya dalam memberi kita kebahagiaan. Kumpulkanlah bagimu harta di sorga. Perhatikanlah:

(1) Ada harta di sorga, sama pastinya seperti ada harta di bumi, dan harta yang di sorga itu merupakan satu-satunya harta sejati, yakni segala kekayaan, kemuliaan, dan sukacita yang ada di sebelah kanan Allah, yang akan diterima oleh orang-orang yang benar-benar telah dikuduskan, ketika mereka datang untuk dikuduskan dengan sempurna.

(2) Sungguh bijaksana bila kita mengumpulkan bagi kita harta yang seperti ini, dan dengan tekun memastikan hak kita untuk menerima hidup kekal melalui Yesus Kristus, dan mengandalkannya sebagai kebahagiaan kita, dan memandang segala yang ada di bawah sini dengan rasa muak yang kudus sebagai sesuatu yang tidak berharga dibandingkan dengannya. Kita harus percaya dengan teguh bahwa kebahagiaan semacam itu memang ada, dan kita juga harus berketetapan untuk merasa puas dengannya, dan tidak mau puas kalau belum mendapatkannya. Jika kita sungguh-sungguh menjadikan harta itu sebagai milik kita, dengan mengumpulkannya, maka kita dapat memercayakannya kepada Allah untuk menjaganya dengan aman. Oleh sebab itu, marilah kita mengarahkan semua rancangan kita dan menujukan seluruh keinginan kita ke sana. Marilah kita mempersembahkan seluruh upaya dan perasaan kita yang terbaik ke sana. Janganlah kita membebani diri dengan harta dunia yang hanya akan menyusahkan dan merusakkan kita, dan sangat dapat menenggelamkan kita, tetapi kumpulkanlah jaminan-jaminan yang baik. Janji-janji itu merupakan alat tukar, yang dengannya orang percaya yang sungguh-sungguh mengembalikan harta mereka ke sorga, dan yang akan dibayarkan kembali kelak. Dengan demikian, kita membuat pasti hal-hal yang akan dibuat pasti.

(3) Sungguh kita dapat berbesar hati jika kita mengumpulkan harta kita di sorga, karena di sanalah harta kita aman. Harta itu tidak akan rusak dengan sendirinya, tidak ada ngengat dan karat yang akan merusakkannya, dan tidak akan ada kekuatan atau kecurangan yang dapat merampasnya dari kita. Pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Ini adalah kebahagiaan yang melebihi dan melampaui semua perubahan dan peluang waktu, warisan yang tidak dapat binasa.

Alasan yang baik mengapa kita harus memilih seperti itu, dan bukti bahwa kita telah melakukannya (ay. 21). Di mana hartamu berada, entah di bumi atau di sorga, di situ juga hatimu berada. Itulah sebabnya kita harus berlaku benar dan bijak dalam memilih harta kita, sebab sifat pikiran kita, dan akibatnya, tujuan hidup kita, akan bersifat kedagingan atau rohani, duniawi atau sorgawi menuruti pilihan kita itu. Hati mengikuti harta, sama seperti jarum mengikuti magnet, atau bunga matahari mengikuti matahari. Di mana hartamu berada, di situlah nilai dan harga diri berada, di situ pula cinta dan perasaan berada (Kol. 3:2). Ke sanalah tertuju segala keinginan dan hasrat, ke situlah mengarah segala tujuan dan maksud, dan segala sesuatu dilakukan berdasarkan pandangan akan harta itu. Di mana hartamu berada, di situ juga perhatian dan kekhawatiran kita berada, karena takut kehilangan harta itu. Hal itulah yang paling kita cemaskan. Di situ jugalah harapan dan kepercayaan kita berada (Ams. 18:10-11). Di situ segala sukacita dan kesenangan kita akan berada (Mzm. 119:111), dan di situ juga pikiran-pikiran kita berada. Di situlah pikiran batiniah akan berada, pikiran yang pertama, pikiran yang bebas, pikiran yang tetap, dan pikiran yang sering timbul dan sudah dikenal. Hati adalah hak Allah (Ams. 23:26), dan agar Ia dapat memilikinya, harta kita harus dikumpulkan bersama-Nya, sehingga barulah jiwa kita akan terangkat kepada-Nya.

Petunjuk tentang mengumpulkan harta ini sangat sesuai untuk diterapkan pada peringatan sebelumnya, yaitu tentang tidak menjalankan ibadah supaya dilihat orang. Harta kita adalah segala sedekah, doa, dan puasa kita, dan juga upah yang kita terima untuk semua itu. Jika kita menjalankan semua ini hanya supaya dipuji manusia, itu berarti kita mengumpulkan harta di bumi, meletakkannya pada tangan manusia, dan tidak pernah bisa berharap akan mendengar apa-apa lagi tentangnya. Alangkah bodohnya melakukan hal ini, sebab kehormatan manusia yang begitu kita dambakan sangat mudah musnah, akan berkarat dalam waktu singkat, akan dimakan ngengat, dan akan terlihat kusam. Sedikit kebodohan, seperti lalat yang mati, akan merusakkan semuanya (Pkh. 10:1). Umpatan dan fitnah adalah pencuri yang membongkar serta mencurinya, sehingga kita kehilangan seluruh harta perbuatan kita. Kita berlari dan berjerih payah dengan sia-sia karena kita mempunyai niat yang salah dalam melakukan itu semua. Ibadah-ibadah yang munafik tidak mengumpulkan apa-apa di sorga (Yes. 58:3), upahnya lenyap ketika nyawa dicabut (Ayb. 27:8). Tetapi jika kita berdoa, berpuasa, dan bersedekah dalam kebenaran dan ketulusan, dengan mata yang tertuju kepada Allah dan perkenanan-Nya, dan percaya bahwa kita berkenan kepada-Nya, maka kita telah mengumpulkan harta di sorga. Sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya (Mal. 3:16), dan karena tercatat di sana, perbuatan kita akan mendapat upah di sana, dan kita akan terhibur mendapat kembali harta kita di sana, di seberang kematian dan kubur. Orang-orang munafik tersurat namanya dalam tanah (Yer. 17:13, TL), tetapi nama anak-anak Allah yang setia ada terdaftar di sorga (Luk. 10:20). Diterima Allah adalah harta di sorga, yang tidak akan dapat dirusakkan ataupun dicuri. Firman-Nya "Baik sekali perbuatanmu itu" akan berlaku selamanya. Jika kita telah mengumpulkan harta kita bersama-Nya dengan cara demikian, hati kita juga akan berada bersama-Nya. Di mana lagi ada tempat yang lebih baik bagi hati kita?

II. Kita harus berjaga-jaga terhadap kemunafikan dan pemikiran duniawi dalam memilih tujuan yang kita ingini.

Perhatian kita mengenai hal ini digambarkan melalui dua jenis mata yang dimiliki manusia, yakni mata baik dan mata jahat (ay. 22-23). Ungkapan-ungkapan yang digunakan di sini memang agak kurang jelas karena ringkas. Oleh sebab itu kita akan melihatnya dengan menggunakan beberapa macam penafsiran. Mata adalah pelita tubuh, itu sudah jelas. Tugas mata adalah menemukan dan menuntun. Terang dunia tidak akan banyak gunanya tanpa pelita tubuh ini. Pelita tubuh inilah yang menyukakan hati (Ams. 15:30), akan tetapi, apa yang dibandingkan di sini dengan mata dalam tubuh itu?

Mata di sini adalah hati (begitulah menurut sebagian orang), jika mata itu baik -- haplous -- bebas dan murah hati (istilah ini sering digunakan, misalnya dalam Rm. 12:8; 2Kor. 8:2; 9:11, 13; Yak. 1:5; dan kita juga membaca tentang orang yang baik matanya dalam Ams. 22:9, TL). Jika kita mempunyai kecondongan pada kebaikan dan kemurahan hati, maka hati itu akan menuntun orang untuk melakukan tindakan-tindakan Kristiani, seluruh tutur katanya akan penuh dengan terang, penuh dengan bukti-bukti dan teladan-teladan Kekristenan sejati; dan ini semua adalah ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita (Yak. 1:27). Itu penuh dengan terang, penuh dengan perbuatan-perbuatan baik, yang merupakan terang kita yang bercahaya di depan orang. Namun jika hati itu jahat, tamak, keras, iri, dengki, dan suka mendendam (sifat seperti ini sering kali digambarkan dengan mata yang jahat, Mat. 20:15; Mrk. 7:22; Ams. 23:6-7), maka gelaplah seluruh tubuh. Seluruh tutur katanya akan serupa dengan orang yang tidak mengenal Allah dan tidak Kristiani. Kalau penipu, akal-akalnya selalu dan akan selalu jahat, tetapi orang yang berbudi luhur merancang hal-hal yang luhur (Yes. 32:5-8). Jadi, jika terang yang ada pada kita itu, yakni perasaan-perasaan yang seharusnya memimpin kita kepada apa yang baik, menjadi gelap, jika segala perasaan itu menjadi rusak dan duniawi, jika dalam diri seseorang tidak ada cukup banyak sifat yang baik, tidak ada sifat-sifat yang condong ke hal-hal yang baik, maka betapa hebatnya kerusakan dan kegelapan yang meliputi orang itu! Pengertian seperti ini tampaknya sesuai dengan pokok persoalan dalam perikop ini. Kita harus mengumpulkan harta di sorga dengan cara memberi sedekah dengan murah hati, dan kita tidak boleh melakukannya dengan menggerutu, melainkan dengan senang hati (Luk. 12:33; 2Kor. 9:7). Namun perkataan tentang mata yang juga terdapat dalam bacaan lain yang serupa ini tidak disampaikan dalam pengertian seperti itu (Luk. 11:34), dan oleh sebab itu, keterkaitannya dengan pengertian tersebut di sini sama sekali tidak dimaksudkan bahwa inilah satu-satunya pengertian yang benar dari perkataan tentang mata dalam perikop lain tersebut.

Mata di sini adalah pengertian (begitulah menurut sebagian orang). Mata menilai segala perbuatan nyata, dan berfungsi sebagai hati nurani. Fungsinya bagi indra-indra kejiwaan lain sama seperti fungsi mata bagi tubuh, yang membimbing dan mengarahkan gerak-gerik anggota tubuh yang lain. Jika mata itu baik, jika mata itu membuat penilaian yang baik dan benar, dan sanggup membedakan hal-hal yang berlainan, terutama dalam hal memilih untuk mengumpulkan harta yang benar, maka mata ini akan menuntun segala perasaan dan tindakan dengan benar, sehingga semuanya ini akan penuh dengan terang anugerah dan penghiburan. Tetapi jika mata itu jahat dan rusak, maka bukannya menuntun orang-orang yang lemah, mata itu malah justru akan memimpin, memenuhi dan mencondongkan mereka ke arah yang jahat. Jika mata itu keliru dan mendapat masukan yang salah, hati dan kehidupan pasti akan penuh dengan kegelapan, dan seluruh tutur kata pun akan menjadi rusak. Orang yang tidak mengerti dikatakan berjalan dalam kegelapan (Mzm. 82:5). Betapa menyedihkan bila roh manusia, yang seharusnya adalah pelita TUHAN, ternyata adalah ignis fatuus: ketika orang-orang yang mengendalikan bangsa, yang mengendalikan segala indra, menjadi penyesat, maka pada saat itulah orang-orang yang dikendalikan mereka menjadi kacau (Yes. 9:15). Kesalahan dalam membuat penilaian terhadap segala perbuatan mendatangkan malapetaka, membuat orang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat (Yes. 5:20). Oleh sebab itu, kita harus memahami segala sesuatu dengan benar, dan memiliki mata yang diurapi.

Mata di sini adalah tujuan dan maksud. Dengan mata kita menentukan tujuan akhir yang hendak kita capai, titik yang hendak kita bidik, dan tempat yang hendak kita datangi. Kita terus memandangnya dan mengarahkan segenap langkah kita sesuai tujuan tersebut. Dalam segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan beragama, ada satu dan lain hal yang terdapat dalam mata kita. Nah, jika mata kita baik, jika kita berniat tulus, menetapkan tujuan-tujuan yang benar, dan melangkah dengan benar ke arah tujuan, jika kita bermaksud hanya dan murni demi kemuliaan Allah, mencari kehormatan dan perkenanan-Nya semata, dan mengarahkan segala sesuatu kepada-Nya, maka mata kita baik. Mata Paulus itu demikianlah adanya, seperti perkataannya, "Karena bagiku hidup adalah Kristus." Jika kita juga benar dalam hal ini, maka teranglah seluruh tubuh kita. Seluruh tindakan kita akan teratur dan mulia, menyenangkan hati Allah dan menghibur bagi diri kita sendiri. Tetapi jika mata itu jahat, tidak memuliakan Allah dan mencari perkenanan-Nya, dan hanya mencari puji-pujian manusia, bukannya menghormati Allah tetapi mencari kehormatan diri sendiri, mencari kepentingan sendiri dengan dalih mencari perkara-perkara Kristus, maka semuanya ini akan merusakkan segalanya. Seluruh tutur kata kita akan menjadi jahat dan mudah goyah, dan karena dasar kita dibangun dengan cara demikian, maka segala arah kita juga akan hanya menuju kepada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tariklah garis dari keliling lingkaran ke semua arah kecuali pusatnya, maka garis-garis itu akan saling menyilang. Jika terang yang ada padamu itu bukan saja redup, tetapi juga gelap, maka ini merupakan kesalahan yang mendasar dan akan merusak semua hal yang mengikutinya. Tujuan menentukan tindakan. Salah satu hal yang teramat penting dalam kehidupan beragama adalah bahwa kita harus memastikan kalau tujuan-tujuan kita benar, dan menjadikan perkara-perkara yang kekal, bukan yang sementara, sebagai ruang lingkup perhatian kita (2Kor. 4:18). Orang munafik itu seperti nelayan, ia menengok ke arah yang satu dan mendayung ke arah yang lain; sedangkan orang Kristen sejati itu seperti pelancong, ia memusatkan pandangannya pada tujuan akhir perjalanannya. Orang munafik membubung tinggi seperti burung elang, yang memusatkan pandangannya pada mangsa di bawah, dan siap menukik ke arah mangsanya jika ada kesempatan yang baik. Orang Kristen sejati membubung tinggi seperti burung murai, yang terbang kian lama kian tinggi, dan melupakan semua yang ada di bawah.

III. Kita harus berjaga-jaga terhadap kemunafikan dan pemikiran duniawi dalam memilih tuan yang ingin kita abdi (ay. 24).

Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Mengabdi kepada dua tuan bertentangan dengan memiliki mata yang baik, sebab mata itu akan memandang tangan tuannya (Mzm. 123:1-2). Yesus Tuhan kita di sini membeberkan kebohongan yang diperbuat orang terhadap jiwa mereka sendiri, dengan menyangka bahwa mereka bisa membagi antara Allah dan dunia, dengan memiliki harta di bumi dan juga harta di sorga, dengan menyenangkan hati Allah dan sekaligus juga hati manusia. "Mengapa tidak?" kata si munafik, "bukankah baik mempunyai dua tali pada satu busur?" Mereka berharap agar agama mereka dapat digunakan untuk melayani kepentingan duniawi mereka, sehingga dengan demikian mereka dapat menangani keduanya. Ibu yang palsu setuju apabila bayi yang sedang diperebutkan dibagi dua. Orang Samaria mencampuradukkan Allah dengan berhala. "Tidak," kata Kristus, "ini tidak benar, ini hanyalah anggapan bahwa ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan" (1Tim. 6:5). Berikut ini kita melihat:

Pepatah umum yang disampaikan Kristus. Mungkin ini pepatah yang umum di kalangan orang Yahudi. Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan, apalagi dua ilah, sebab perintah-perintah mereka pada satu atau lain waktu akan saling berlawanan dan bertentangan, dan kepentingan-kepentingan mereka akan saling bertabrakan. Apabila dua tuan pergi bersama, si hamba dapat mengikuti keduanya. Tetapi apabila mereka berpisah, akan tampak siapa yang dilayani hamba itu. Dia tidak dapat mengasihi, memerhatikan, dan terus mengikuti keduanya sebagaimana seharusnya. Jika ia memilih yang satu, maka ia tidak memilih yang lain. Entah yang satu atau yang lain harus dibenci dan dipandang rendah. Kebenaran ini sudah cukup jelas dalam perkara-perkara yang biasa terjadi.

Penerapannya pada masalah yang sedang dihadapi. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Mamon adalah sebuah kata bahasa Aram yang berarti keuntungan. Jadi, apa pun di dunia ini yang merupakan, atau yang kita anggap sebagai, keuntungan (Flp. 3:7) adalah Mamon. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup adalah Mamon. Bagi sebagian orang, perut mereka adalah Mamon, dan mereka mengabdi kepadanya (Flp. 3:19). Bagi sebagian yang lain, kenyamanan mereka, tidur mereka, olahraga dan waktu luang mereka adalah Mamon bagi mereka (Ams. 6:9). Bagi yang lain, kekayaan duniawi (Yak. 4:13), dan bagi yang lain lagi, kehormatan dan kedudukan tinggi. Pujian dan penghormatan dari manusia merupakan Mamon bagi orang-orang Farisi. Singkatnya, diri sendiri, yang merupakan pusat kesatuan dari tritunggal duniawi, yakni diri yang penuh dengan hawa nafsu dan kepentingan duniawi, adalah Mamon yang tidak dapat dilayani bersamaan dengan Allah. Sebab, jika dilayani, ia akan bersaing dengan-Nya dan akan bertentangan melawan-Nya. Kristus tidak berkata bahwa kita tidak boleh atau sebaiknya kita tidak, melainkan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Kita tidak dapat mengasihi keduanya (1Yoh. 2:15; Yak. 4:4) atau berpegangan pada keduanya, atau dipegang oleh keduanya dalam ketaatan, kepatuhan, pengabdian, kepercayaan, dan kebergantungan, sebab mereka bertentangan satu sama lain. Allah berkata, "Anak-Ku, berikan hatimu kepada-Ku." Mamon berkata, "Tidak, berikan hatimu kepadaku." Allah berkata, "Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu." Mamon berkata, "Raihlah sebanyak mungkin yang kamu bisa. Rem, rem, quocunque modo rem -- Uang, uang, dengan cara halal ataupun haram, pokoknya uang." Allah berkata, "Janganlah menipu, jangan pernah berdusta, berlakulah jujur dan adil dalam semua urusanmu." Mamon berkata, "Tipulah ayahmu sendiri kalau itu dapat menguntungkanmu." Allah berkata, "Bermurah hatilah." Mamon berkata, "Pertahankanlah hartamu, memberi hanya merugikan kita semua." Allah berkata, "Janganlah kamu kuatir tentang apa pun juga." Mamon berkata, "Khawatirkan segala perkara." Allah berkata, "Kuduskanlah hari Sabat." Mamon berkata, "Manfaatkanlah hari itu seperti hari-hari lain untuk kepentingan dunia." Betapa berbedanya perintah-perintah Allah dari perintah-perintah Mamon, sehingga kita tidak dapat mengabdi kepada keduanya. Oleh sebab itu, janganlah kita ragu memilih antara Allah dan Baal, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah, dan patuhilah siapa yang kita pilih. Amin

 

========TERPUJILAH TUHAN==========

 

Tidak ada komentar:

Statistik Pengunjung