Dalam pasal sebelumnya diceritakan tentang percakapan Juruselamat kita dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sekarang, dalam pasal ini diceritakan tentang percakapan-Nya mengenai mereka, atau tepatnya menentang mereka.
I. Kristus mengakui jabatan mereka (ay. 2-3).
II. Ia memperingatkan murid-murid-Nya agar tidak meniru kemunafikan dan kesombongan mereka (ay. 4-12).
III. Ia menyampaikan tuduhan terhadap mereka atas berbagai kejahatan dan pelanggaran besar yang mereka lakukan, merusak hukum Taurat, menentang Injil, dan mengkhianati Allah dan sesama, dan atas setiap kejahatan ini Ia menambahkan celaka yang akan menimpa mereka (ay. 13-33).
IV. Ia menyampaikan hukuman yang akan menimpa Yerusalem, dan menubuatkan kehancuran kota itu dan Bait Allah, khususnya akibat dosa penganiayaan yang mereka lakukan (ay. 34-39).
Ahli-ahli Taurat dan Orang-orang Farisi Dikecam
Peringatan terhadap Kesombongan (23:1-12)
Dalam semua khotbah-Nya, belum pernah kita membaca Kristus bersikap begitu keras terhadap kelompok mana pun seperti kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini. Karena tidak ada lagi yang lebih bertentangan dengan Injil daripada perilaku dan tindakan generasi manusia-manusia ini yang hanya terdiri atas kesombongan, keduniawian, dan kesewenang-wenangan, dan semuanya dibungkus dalam jubah agama. Namun, orang-orang seperti ini malah menjadi pujaan dan kesukaan banyak orang, yang berpikir bahwa bila ada dua orang masuk sorga, salah satunya pasti seorang Farisi. Sekarang Kristus mengarahkan pembicaraan-Nya di sini kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya (ay. 1) untuk meralat kesalahan mereka tentang para ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini, dengan menggambarkan warna asli mereka, supaya dengan demikian Ia bisa menghapus prasangka buruk sebagian orang terhadap diri dan ajaran-Nya. Pada masa itu, ajaran-Nya ditentang oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang menyebut diri mereka sendiri sebagai penuntun umat. Perhatikanlah, sangat baik untuk mengenal watak manusia yang sebenarnya, sehingga kita tidak terkecoh oleh nama besar, gelar, dan keangkuhan kekuasaan. Orang-orang harus diingatkan tentang serigala-serigala (Kis. 20:29-30), anjing-anjing (Flp. 3:2), pekerja-pekerja curang (2Kor. 11:13), agar mereka dapat berjaga-jaga. Bukan hanya kumpulan orang banyak itu saja, tetapi para murid juga perlu mewaspadai hal ini, karena mata orang baik pun mudah disilaukan oleh kemegahan duniawi.
I. Kristus mengakui jabatan mereka sebagai pengajar hukum.
Mereka ini adalah ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (yaitu, seluruh Mahkamah Agama (Sanhedrin), yang memegang tampuk pemerintahan atas jemaat, yang disebut ahli-ahli Taurat, dan sebagian dari mereka adalah orang-orang Farisi). Mereka menduduki kursi Musa (ay. 2), sebagai guru-guru masyarakat dan penafsir hukum. Hukum Musa sendiri menjadi hukum politis yang berlaku dalam bangsa mereka, dan merekalah yang menjadi hakim-hakimnya, atau yang bertugas sebagai hakim di pengadilan. Mengajar dan mengadili tampaknya merupakan pekerjaan yang sama (2Taw. 17:7, 9 dengan 2Taw. 19:5, 6, 8). Mereka bukanlah hakim-hakim yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, tetapi bertugas di satu tempat di kota-kota tertentu. Mereka memutuskan perkara kriminal, hukuman-hukuman khusus, atau mengeluarkan surat perintah keputusan pengadilan atas seseorang. Mereka menduduki kursi Musa, tetapi bukan sebagai pengantara antara Allah dan bangsa Israel seperti Musa, melainkan hanya sebatas menjadi kepala pengadilan belaka, seperti Musa juga (Kel. 18:26). Tugas jabatan anggota Mahkamah Agama yang demikian bisa dikatakan dijalankan juga oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat lainnya, yang bertugas menjelaskan hukum Taurat secara rinci dan mengajar orang banyak cara menerapkan hukum tersebut pada kasus tertentu. Mimbar kayu, seperti yang dibuat untuk Ezra, ahli kitab yang mahir dalam hukum Taurat Allah (Neh. 8:5), di sini disebut kursi Musa, karena Musa memiliki kursi-kursi semacam itu di setiap kota (seperti yang dinyatakan dalam Kis. 15:21). Merekalah yang memberitakan hukum Taurat dari atas mimbar itu. Inilah jabatan mereka, sebuah jabatan yang sah dan terhormat menurut hukum. Di sana diperlukan imam-imam yang dari perkataan mulutnya orang bisa mencari pengajaran (Mal. 2:7).
Banyak kedudukan yang baik justru diisi oleh orang-orang jahat. Bukan merupakan hal baru bila orang-orang fasik justru ditinggikan, bahkan sampai menduduki kursi Musa (Mzm. 12:9). Bila keadaannya sudah menjadi seperti ini, orang-orang ini tidak akan dihormati lagi dengan kedudukannya itu, karena kedudukan itu telah dicemari oleh mereka. Nah, akhlak mereka yang duduk di kursi Musa itu telah begitu merosotnya sehingga kini tibalah saatnya bagi Sang Nabi Agung, seorang nabi seperti Musa, untuk membangun kursi yang lain.
Oleh karena itu, jabatan dan kekuasaan yang baik dan berguna tidak bisa dihukum dan dihapuskan begitu saja (sebab nanti akan menjadi rusak), karena ada kalanya jabatan dan kekuasaan tersebut jatuh ke tangan orang-orang fasik, yang menyalahgunakan kedua hal tersebut. Oleh karena itu, kita juga tidak boleh menurunkan kursi Musa, karena ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi kini telah menguasainya. Lebih baik bila kita biarkan keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai (Mat. 13:30).
Karena itu Kristus menyimpulkan (ay. 3), "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu selama mereka masih menduduki kursi Musa, yakni selama mereka bertugas membacakan dan memberitakan hukum yang diberikan oleh Musa" (yang saat itu masih berlaku kuat dan punya wewenang penuh serta berstandar tinggi), "selama mereka bertugas untuk menghakimi sesuai dengan hukum itu. Selama itu pula, kamu harus mendengarkan mereka dengan saksama, sebagai peringatan bagimu akan firman yang tertulis." Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi bertugas mempelajari Kitab Suci, dan sangat mengenal bahasa, sejarah, dan kebiasaan yang berkaitan dengan hukum tersebut, begitu juga dengan gaya dan ungkapan khusus yang digunakan di dalamnya. Sekarang Kristus mengajak orang banyak itu untuk memanfaatkan bantuan yang mereka berikan untuk memahami Kitab Suci, dan menjalankan apa yang diajarkan. Selama pemahaman mereka menggambarkan apa yang dimaksud oleh Kitab Suci dan tidak menyesatkan, membuatnya semakin jelas, dan tidak membatalkan perintah Allah, sejauh itu pula perkataan mereka harus diperhatikan dan ditaati, tetapi harus dengan penuh kewaspadaan dan kebijaksanaan. Perhatikanlah, kita tidak boleh berpikir buruk tentang kebenaran-kebenaran yang baik hanya karena yang memberitakannya adalah pelayan-pelayan Tuhan yang jahat. Begitu juga terhadap peraturan-peraturan baik yang dilaksanakan oleh penguasa yang buruk. Meskipun kita sangat menginginkan agar makanan kita disajikan oleh para malaikat, namun, bila Allah mengirimkannya kepada kita melalui burung-burung gagak, bila hal itu baik dan bermanfaat, kita harus menerimanya dan bersyukur kepada Allah atas pemberian itu. Demikianlah, dengan ajakan seperti ini, Tuhan Yesus ingin mencegah orang berpikiran bahwa dengan menyalahkan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, Ia solah-olah bermaksud merendahkan hukum Musa dan menjauhkan orang dari hukum Taurat. Tidak, Ia menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Perhatikanlah, dalam mengkritik pejabat dan jabatannya, kita harus bijak supaya tidak menyalahkan pelayanan, karena yang bersalah adalah pelayannya dan bukan pelayanan itu sendiri.
II. Tuhan Yesus mencela orangnya
Ia telah memerintahkan orang banyak itu untuk melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan, tetapi di sini Ia menambahkan sebuah peringatan untuk tidak meniru perbuatan-perbuatan mereka, untuk mewaspadai ragi mereka; "Tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka." Adat istiadat mereka adalah karya mereka, pujaan mereka, dan hasil rekaan mereka belaka. Atau, "Janganlah kamu mengikuti teladan mereka." Ajaran dan perbuatan adalah roh-roh yang harus diuji, dan harus dipisahkan dan dibedakan dengan hati-hati. Kita juga tidak boleh menelan mentah-mentah ajaran-ajaran yang salah hanya berdasarkan perbuatan-perbuatan terpuji yang dilakukan oleh mereka yang mengajarkannya. Begitu juga kita tidak boleh meniru teladan buruk dari mereka yang memberikan pengajaran yang jujur dan dapat dipercaya. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sangat membanggakan kebaikan perbuatan mereka sebagai kemurnian pengajaran mereka, dan mereka berharap bisa dibenarkan oleh hal-hal itu. Itulah dalih yang mereka sampaikan (Luk. 18:11-12). Tetapi hal-hal yang begitu mereka banggakan itu justru merupakan kekejian di mata Allah.
Di sini dan pada ayat-ayat berikutnya, Juruselamat kita menggali lebih khusus lagi tentang perbuatan-perbuatan mereka yang tidak boleh kita teladani. Secara umum, yang dituduhkan kepada mereka adalah kemunafikan, ketidakjujuran, atau patokan ganda yang mereka terapkan dalam agama. Kejahatan seperti ini tidak bisa diperiksa dalam pengadilan manusia, karena kita hanya bisa mengadili sebatas penampilan luar saja. Tetapi Allah yang menyelidik hati mampu menemukan kejahatan kemunafikan. Hal ini sungguh tidak menyenangkan hati-Nya, karena yang didambakan-Nya hanyalah kebenaran. Dalam ayat-ayat ini ada empat hal yang dituduhkan kepada mereka.
[Perkataan dan perbuatan mereka merupakan dua hal yang berbeda]
Perbuatan mereka sama sekali tidak sepadan dengan khotbah-khotbah atau jabatan mereka, karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukan. Mereka mengajarkan hukum Taurat yang sebenarnya baik, tetapi perilaku mereka sehari-hari menunjukkan kebohongan mereka. Sepertinya mereka telah menemukan jalan lain menuju sorga bagi diri sendiri yang berbeda dengan yang mereka tunjukkan kepada orang lain. Lihatlah bagaimana hal ini digambarkan dan akhirnya dituduhkan kepada mereka dalam Roma 2:17-24. Mereka adalah orang-orang berdosa yang paling tidak bisa diampuni, karena mereka membiarkan diri sendiri melakukan dosa yang justru dicela oleh mereka sendiri dalam diri orang lain, atau bahkan mungkin dosa yang mereka lakukan itu lebih buruk lagi. Secara khusus hal ini ditujukan kepada para pelayan jahat, yang pasti akan mendapat ganjaran yang setimpal dengan orang-orang munafik (Mat. 24:51). Kemunafikan apa lagi yang lebih besar daripada menyuruh orang lain percaya dan melakukan, sedangkan diri sendiri tidak mau percaya dan tidak mematuhinya? Dengan perbuatan seperti itu, mereka menghancurkan apa yang telah mereka sampaikan dalam khotbah-khotbah. Ketika berdiri di atas mimbar, mereka berkhotbah dengan begitu indah sehingga terasa sayang bila mereka harus keluar, tetapi ketika berada di luar mimbar, hidup mereka begitu jahat, sehingga sangat disayangkan bahwa mereka pernah masuk dan melayani. Mereka seperti genta yang memanggil orang-orang datang beribadat, tetapi tetap tergantung sendirian di ketinggian, atau seperti mercu suar yang menunjukkan jalan bagi orang lain, dan tetap tegak berdiri sendirian. Orang-orang seperti ini akan dihakimi menurut perkataan mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi semua orang lain yang mengajarkan kebenaran tetapi tidak melakukannya, yang hanya membuat pengakuan iman di luar saja dan tidak hidup sesuai pengakuan tersebut. Mereka juga membuat banyak janji-janji indah, tetapi tidak menepati janji-janji mereka. Mereka sarat dengan pembicaraan yang baik dan mampu menjelaskan semua hukum kepada orang lain, tetapi miskin dalam perbuatan baik. Mereka adalah pembicara-pembicara yang hebat, tetapi pelaku-pelaku yang payah. Kalau suara, suara Yakub; kalau tangan, tangan Esau. Vox et praeterea nihil -- hanya bunyi belaka. Mereka berkata dengan jelas, "Baik, bapa," tetapi tidak bisa dipercaya, karena tujuh kekejian ada di dalam hati mereka.
Mereka sangat keras dalam membebankan kepada orang lain hal-hal yang mereka sendiri tidak bersedia memikulnya (ay. 4). Mereka mengikat beban-beban berat, yang sukar ditanggung. Bukan hanya membebankan hal-hal teramat kecil dalam hukum Taurat yang disebut kuk (Kis. 15:10), dan mengharuskan orang menjalankan hukum tersebut dengan lebih ketat dan keras daripada yang dilakukan oleh Allah sendiri (padahal pepatah para ahli hukum mengatakan, Aspices juris son sunt jura -- hanya butir-butir hukum belaka, bukanlah hukum), tetapi juga menambah-nambahkan sesuatu yang lain pada firman Allah dan mereka-reka temuan dan adat istiadat mereka sendiri dengan memberikan hukuman yang sangat berat atas semua pelanggarannya. Mereka suka memamerkan kuasa mereka dan bertindak menguasai orang lain melebihi apa yang telah diwariskan Allah, sambil dalam hati berkata kepada orang lain, "Tunduklah supaya kami lewat menginjak kamu!" Saksikanlah betapa banyaknya tambahan yang mereka buat atas hukum perintah keempat, sehingga hari Sabat pun mereka ubah menjadi suatu beban berat bagi orang lain, padahal hari Sabat ini sebenarnya dirancang untuk menjadi hari sukacita bagi hati manusia. Demikianlah, dengan kekerasan dan kekejaman gembala-gembala memerintah kawanan domba dengan menginjak-nginjak mereka, seperti yang terjadi pada zaman dulu (Yeh. 34:4).
(1) Mereka sendiri tidak mau melakukan hal-hal yang mereka bebankan kepada orang lain. Secara ketat mereka memaksa orang-orang untuk beribadah, tetapi mereka sendiri tidak mau terikat dengan hal-hal yang mereka paksakan itu. Secara sembunyi-sembunyi mereka melanggar adat istiadat mereka sendiri, yang mereka paksakan kepada masyarakat luas. Mereka memuaskan keangkuhan mereka dengan memberikan hukum Taurat kepada orang lain, tetapi memberikan keringanan kepada diri sendiri dalam menjalankan hukum itu. Seperti sindiran yang pernah timbul tentang para imam yang jahat, bahwa mereka berpuasa dengan anggur dan manisan, sementara mereka memaksa orang banyak berpuasa dengan roti dan air saja. Mereka juga memberi keringanan hukuman bagi diri sendiri dari aturan penebusan dosa yang mereka perintahkan kepada orang awam.
(2) Mereka tidak mau meringankan beban orang banyak dari hal-hal ini, sekalipun mereka melihat bagaimana beban-beban itu mengimpit orang banyak itu. Mereka bisa mereka-reka cara untuk mencari kelonggaran dalam hukum Allah dan dengan begitu bisa membebaskan diri sendiri. Akan tetapi, untuk orang lain, mereka tidak mau mengurangi sedikit pun beban yang mereka telah tetapkan. Mereka tidak membolehkan adanya jalur hukum apa pun yang dapat meringankan beratnya hukum adat mereka. Betapa bertolak belakangnya hal ini dengan apa yang dilakukan oleh rasul-rasul Kristus, yang memperbolehkan orang lain menggunakan kemerdekaan Kristen untuk menolak hal-hal yang mereka tidak berkenan, demi terciptanya kedamaian dan kemajuan dalam jemaat! Mereka tidak akan menanggungkan lebih banyak beban selain hal-hal yang memang diperlukan, lagi pula beban mereka itu ringan (Kis. 15:28). Betapa berhati-hatinya Rasul Paulus meringankan beban tersebut kepada orang-orang yang ia surati (1Kor. 7:28; 9:12).
Semua hanya untuk pamer belaka, tidak ada yang penting untuk hidup keagamaan (ay. 5), Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang. Kita harus melakukan perbuatan baik supaya orang yang melihatnya memuliakan Allah. Kita tidak boleh memamerkan perbuatan baik itu dengan maksud agar orang lain bisa melihatnya dan kemudian meninggikan kita. Itulah yang dibenci oleh Juruselamat kita dalam diri orang Farisi pada umumnya, seperti yang telah Ia sampaikan sebelumnya dalam hal doa dan pemberian sedekah. Semua tujuan mereka adalah untuk dipuji orang. Sebab itu semua yang mereka lakukan dimaksudkan supaya dilihat orang, untuk membuat pertunjukan di dalam daging. Dalam hal menjalankan kewajiban-kewajiban agama supaya dilihat, tidak ada orang lain lagi yang bisa melebihi mereka. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan hubungan jiwa mereka dengan Allah, karena tidak ada renungan pribadi yang mereka lakukan dengan Dia, hati mereka dijauhkan dari Dia. Mereka mengingini suatu bentuk kesalehan hanya supaya mereka bisa memperoleh nama untuk hidup, dan karena itu mereka tidak mau menyusahkan diri sendiri dengan memikirkan kuasa kesalehan. Padahal hal inilah yang sebenarnya justru bisa memberikan hidup bagi mereka. Orang yang melakukan segala sesuatu hanya demi dilihat orang, pada dasarnya melakukan sesuatu tanpa tujuan.
Tuhan Yesus menunjukkan dua hal yang mereka lakukan supaya dilihat orang.
(1) Mereka memakai tali sembahyang yang lebar. Tali sembahyang itu adalah gulungan kertas atau kulit yang memuat kutipan empat paragraf hukum Taurat yang ditulis dengan sangat rapi dan indah (Kel. 13:2-11; 13:11-16; Ul. 6:4-9; 11:13-21). Tulisan ini dijahit di atas kulit dan dipakai pada dahi dan lengan kiri mereka. Ini adalah adat istiadat para leluhur mereka mengikuti Keluaran 13:9 dan Amsal 7:3. Tradisi ini tampaknya hanya bersifat kiasan, yang tiada lain hanya untuk menunjukkan bahwa kita harus menyimpan perkara-perkara Allah secermat mungkin di dalam pikiran kita, seolah-seolah perkara-perkara itu terus terlihat oleh mata kita. Nah, orang-orang Farisi membuat tali sembahyang itu menjadi lebih lebar, supaya dipandang lebih suci, lebih taat, dan lebih giat dalam menjalankan hukum Taurat daripada orang-orang lain. Memang sungguhlah mulia kalau kita giat berusaha supaya menjadi lebih suci melebihi orang lain, namun, kalau hal ini dilakukan untuk dilihat orang, maka ini hanyalah keinginan nafsu yang sombong saja. Memang baik untuk menjadi unggul dalam kesalehan yang sesungguhnya, tetapi janganlah untuk pamer saja. Karena mengerjakan sesuatu secara berlebihan pantas dianggap sebagai bermaksud buruk (Ams. 27:14). Orang munafik selalu meribut-ributkan hal-hal luar melebihi apa yang diperlukan ketika beribadah, yang tidak ada gunanya untuk memperbaiki atau untuk mengembangkan rasa kasih dan watak jiwa yang baik.
(2) Mereka memakai jumbai yang panjang. Allah memerintahkan orang Israel untuk membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka (Bil. 15:38), untuk membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain, dan untuk mengingatkan mereka tentang keberadaan mereka sebagai bangsa yang khusus. Tetapi orang-orang Farisi merasa tidak puas dengan hanya memakai jumbai-jumbai yang sama seperti yang dipakai orang lain, yang sebenarnya sudah sesuai dengan pola yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. Mereka merasa harus memakai jumbai yang lebih besar dan panjang daripada yang biasa, untuk memenuhi hasrat hati mereka agar lebih diperhatikan sebagai orang yang lebih saleh daripada orang lain. Mereka yang memperbesar tali sembahyang dan jumbai-jumbai pada punca baju mereka, sementara hati mereka sangat kurang dan sangat miskin akan kasih kepada Allah dan sesama, pada akhirnya akan menipu diri sendiri, meskipun sekarang tampaknya mereka bisa menipu orang lain.
Mereka cenderung mencari ketenaran dan keunggulan, dan sangat menyombongkan diri dengan hal-hal ini. Kesombongan adalah dosa yang akrab menguasai orang-orang Farisi, dosa yang begitu merintangi mereka dan untuk mana Tuhan Yesus menggunakan setiap kesempatan untuk bersaksi guna menentang dosa tersebut.
(1) Tuhan Yesus menguraikan kesombongan mereka (ay. 6-7). Mereka berusaha meraih dan menginginkan:
[1] Tempat-tempat terhormat dan rasa hormat. Pada setiap kemunculan di depan umum, seperti di tempat perjamuan dan rumah ibadat, mereka mengharapkan dan mengharuskan, demi kesenangan hati mereka, tempat terhormat dan tempat utama. Ini juga berlaku dalam semua hal yang lain, dan hak yang lebih tinggi ini diberikan secara resmi kepada mereka, sebagai orang-orang terkemuka dan layak. Mudah dibayangkan betapa puasnya hati mereka menerima semua hal itu, karena mereka memang ingin menjadi orang terkemuka (3Yoh. 9). Yang dipersalahkan bukanlah soal duduk di tempat terhormat atau duduk di tempat utama (karena bagaimanapun harus ada seseorang yang duduk di tempat terhormat), tetapi kecintaan mereka untuk duduk di situ yang dipermasalahkan. Orang-orang seperti itu akan mengejar kehormatan dalam sepenggal acara resmi, seperti duduk di tempat terhormat, maju lebih dulu, menarik perhatian, dan menganggap diri layak untuk itu. Mereka berusaha keras memburunya dan merasa jengkel bila tidak mendapatkannya. Ini hanyalah tindakan memberhalakan diri sendiri, dengan tunduk sujud dan menyembahnya -- jenis penyembahan berhala yang paling buruk! Di mana saja, perbuatan semacam itu merupakan perbuatan yang buruk, terlebih lagi bila dilakukan di tempat ibadat. Begitulah, mencari kehormatan bagi diri sendiri, dan bukannya mempermuliakan Allah serta merendahkan hati kita di hadapan-Nya sebagaimana seharusnya, benar-benar merupakan tindakan menghujat Allah dan bukannya melayani Dia. Daud lebih suka berdiri di ambang pintu rumah Allah, begitu jauh hatinya dari mendambakan kursi terdepan yang ada di sana (Mzm. 84:11). Sangat kental aroma kesombongan dan kemunafikan pada orang-orang yang tidak memedulikan soal pergi berbakti ke rumah ibadat, kecuali bila mereka bisa tampil indah dan menjadi tokoh di sana.
[2] Gelar untuk memperoleh kemuliaan dan kehormatan. Mereka suka menerima penghormatan di pasar, suka melihat orang mengangkat topi kepada mereka dan menunjukkan rasa hormat ketika berjumpa dengan mereka di jalanan. Oh, betapa hal itu menyukakan hati mereka, dan memuaskan perasaan mereka yang kosong, digito monstrari et dicier, Hic est -- supaya ditunjuk dan dikatakan, "Inilah dia orangnya," dan kemudian orang memberikan jalan bagi mereka di tengah kerumunan orang-orang di pasar, "Minggir, ada orang Farisi lewat!" Mereka juga suka disapa dengan gelar yang tinggi dan hebat, "Rabi, Rabi!" Seolah-olah hal ini menjadi seperti makanan dan minuman yang mewah dan lezat bagi mereka. Mereka merasa luar biasa puas dengan semuanya ini, seperti yang dilakukan Nebukadnezar di istananya ketika ia berkata, "Bukankah ini Babel besar yang telah kubangun?" Salam penghormatan itu sebenarnya tidaklah menonjol bila saja mereka tidak berdiri di pasar-pasar, di mana semua orang bisa melihat betapa besar penghormatan yang mereka terima dan betapa tingginya derajat mereka menurut pandangan orang banyak. Hanya beberapa waktu sebelum zaman Kristus, guru-guru Yahudi, para pemimpin Israel itu mulai menggunakan gelar, Rabbi, Rab, atau Rabban, guna menunjukkan sesuatu yang besar atau hebat, dan diartikan sebagai Guru, atau Tuanku. Mereka sangat menekankan kebesaran gelar itu, sampai-sampai ada aturan umum yang berlaku, "Barangsiapa menyalami gurunya, tetapi tidak menyapanya dengan Rabi, ia akan menyebabkan kemuliaan ilahi meninggalkan Israel." Begitu banyak bumbu agama yang mereka letakkan pada sesuatu yang sebenarnya hanyalah merupakan suatu aturan sopan santun belaka! Orang yang diajar dalam firman Allah memberikan rasa hormat kepada orang yang mengajarnya sudah melakukan perbuatan yang patut dipuji, tetapi seorang pengajar yang suka dihormati, suka menuntut, sangat menginginkannya, serta menjadi besar kepala dengan penghormatan itu dan menjadi jengkel bila dilupakan, telah melakukan perbuatan dosa yang buruk. Orang seperti itu, sebaiknya jangan mengajar, ia justru perlu belajar pelajaran pertama dalam sekolah Kristus, yaitu kerendahan hati.
(2) Kristus memperingatkan murid-murid-Nya agar tidak menjadi seperti mereka, agar tidak meniru perbuatan mereka, "Tetapi kamu, janganlah kamu disebut begitu, janganlah mengikuti pengajaran mereka" (ay 8 dst)
[1] Larangan untuk sombong
Alasannya Pertama, untuk tidak mencari gelar kehormatan dan kekuasaan bagi diri sendiri (ay. 8-10). Hal ini diulangi sampai dua kali, Janganlah kamu disebut Rabi; janganlah pula kamu disebut Pemimpin atau Penuntun. Ini tidaklah berarti bahwa kita dilarang untuk menghormati mereka yang memimpin kita di dalam Tuhan. Bukan, penghormatan memang harus kita tunjukkan kepada mereka, karena ini kewajiban kita. Namun: Para pelayan Kristus tidak boleh ingin menggunakan sebutan Rabi atau Pemimpin untuk membedakan diri dari orang lain. Mereka yang mendambakan menerima kehormatan seperti yang ada di istana raja, tidak sepadan dengan kesederhanaan Injil. Mereka tidak boleh menyombongkan wewenang dan kekuasaan yang terkandung di dalam nama-nama itu. Mereka tidak boleh menjadi pemerintah atau penguasa atas saudara-saudara mereka atau umat Allah, seolah-olah merekalah yang berkuasa atas iman orang-orang percaya, bahwa apa yang mereka terima dari Allah, itulah yang semua orang percaya harus terima melalui mereka. Mereka tidak boleh menjadikan pendapat atau kehendak sendiri sebagai peraturan dan patokan bagi orang lain untuk diakui dengan penuh kepatuhan. Alasan pelarangan ini adalah:
(1) Hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias (ay 8 dan diulangi sekali lagi dalam ay. 10)
[1] Kristus adalah Pemimpin, Guru, dan Penuntun kita.
[2] Hanya Kristus saja Pemimpin kita, para pelayan umat hanyalah pembimbing di dalam sekolah Kristus. Hanya Kristus saja Pemimpin, Nabi Besar yang harus kita dengar, yang memerintah dan berkuasa atas kita, yang firman-Nya harus menjadi penyataan dan hukum bagi kita. Aku berkata kepadamu dengan sebenar-benarnya, hal ini pasti cukup bagi kita. Bila Ia adalah Pemimpin kita satu-satunya, maka para pelayan-Nya yang berusaha menjadi diktator dan menuntut kekuasaan dan kemutlakan sudah lancang merebut kehormatan Kristus yang tidak akan pernah diberikan-Nya kepada orang lain.
(2) Kamu semua adalah saudara. Para pelayan Tuhan bukan hanya menjadi saudara bagi sesama pelayan, tetapi juga bagi orang banyak. Oleh karena itu, jahatlah para pemimpin yang menguasai saudara-saudara mereka. Ya, bahkan kita semua ini adalah saudara-saudara yang lebih muda, karena bila tidak, si sulung akan menuntut yang terutama dalam keluhuran dan kesanggupan (Kej. 49:3). Untuk menghindari hal ini, maka Kristus sendiri menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Rm. 8:29). Kamu semua adalah saudara, karena kamu semua adalah murid-murid dari Guru yang sama. Sesama murid adalah saudara, dan karena itu harus saling tolong-menolong dalam menyelesaikan pelajaran mereka. Dengan alasan apa pun, salah satu dari murid-murid itu tidak diperbolehkan menduduki kursi pemimpin dan menetapkan aturan kelompok. Bila kita semua adalah saudara, janganlah banyak di antara kita mau menjadi guru (Yak. 3:1).
Kedua, murid-murid dilarang memakai gelar ini kepada orang lain (ay. 9); "Janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini. Jangan mengangkat siapa pun menjadi bapa dalam agamamu, baik itu sebagai pendiri, pencipta, pengurus, atau penguasa darinya." Ayah darah daging kita harus dipanggil ayah, dan mereka harus kita hormati, tetapi hanya Allah saja yang boleh kita jadikan Bapa roh kita (Ibr. 12:9). Agama kita tidak boleh berasal dari, atau dibuat bergantung pada seseorang. Kita dilahirkan kembali ke dalam kehidupan rohani dan ilahi, bukan dari benih yang fana, tetapi oleh firman Allah; bukan dari daging atau keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Sekarang, kalau keinginan seorang laki-laki bukan menjadi dasar keberadaan agama kita, maka keinginan seorang laki-laki juga tidak boleh menjadi aturannya. Kita tidak boleh jurare in verba magistri -- bersumpah pada ketentuan makhluk apa pun, juga bukan pada yang paling bijaksana atau terbaik, juga tidak boleh menggantungkan iman kita pada kekuatan seseorang, karena kita tidak tahu ke mana ia akan membawa kita. Rasul Paulus menyebut dirinya sendiri sebagai seorang bapa bagi mereka yang bertobat karena pemberitaannya (1Kor. 4:15; Flm. 10), tetapi ia tetap menganggap dirinya tidak memiliki kekuasaan atas mereka, dan hanya menggunakan gelar itu untuk menunjukkan kasih sayang, bukan untuk menguasai. Oleh karena itu, ia tidak menyebut mereka sebagai anak-anak yang dikuasainya, melainkan anak-anak yang dikasihinya (1Kor. 4:14).
Alasan yang diberikan adalah, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga, dan yang adalah semua di dalam segala sesuatu dalam iman yang kita pegang. Ia adalah Sumber, Pendiri, Kehidupan, dan Tuhan dari segala sesuatu. Dari Dialah, sebagai yang Awal, kehidupan rohani kita berasal, dan hanya pada-Nyalah kehidupan rohani kita itu bergantung. Ia adalah Bapa segala terang (Yak. 1:17), satu Bapa, yang dari-Nya semua berasal, dan kita di dalam Dia (Ef. 4:6). Kristus telah mengajar kita untuk berkata, "Bapa kami yang di sorga," jadi janganlah kita menyebut siapa pun Bapa di bumi ini, siapa pun, karena manusia adalah berenga, dan anak manusia adalah ulat, yang dibentuk dari batu karang yang sama dengan kita, khususnya bukan di atas muka bumi ini, karena manusia di atas muka bumi ini adalah ulat yang penuh dosa. Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh, yang berbuat baik, dan tak pernah berbuat dosa, oleh karena itu, tak seorang pun layak disebut Bapa.
[2] Ini adalah sebuah seruan untuk merendahkan hati dan menundukkan diri satu sama lain (ay. 11),
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Kita bukan hanya menyebut diri sendiri pelayan, tetapi juga harus berlaku demikian (karena kita tahu ada orang yang menyebut diri Servus servorum Dei --Pelayan dari pelayan Allah, tetapi bertindak seperti Rabi, bapa, dan pemimpin; serta Dominus Deus noster -- Tuhan adalah Allah kami, tetapi ternyata tidak mengakuinya). Biarlah kita menjadikannya seperti sebuah janji, "Seseorang akan disebut terbesar dan tertinggi dalam pandangan Allah bila dia mau merendahkan dirinya dan melayani orang lain," atau sebagai suatu aturan umum, "Ia yang lebih maju dalam kemuliaan, kepercayaan, dan kehormatan di dalam jemaat, hendaklah ia menjadi pelayanmu" (beberapa naskah menerjemahkan esto untuk estai). "Janganlah ia mengira bahwa gelar kehormatannya merupakan alat untuk memperoleh kemudahan. Tidak. Barangsiapa yang terbesar, ia bukanlah seorang pemimpin, tetapi seorang pelayan." Rasul Paulus, yang mengetahui baik hak istimewa maupun tugasnya, sungguhpun ia bebas terhadap semua orang, namun ia menjadikan dirinya hamba dari semua orang (1Kor. 9:19). Tuhan kita sering menekankan hal ini kepada murid-murid-Nya agar tetap bersikap rendah hati dan menyangkal diri, lembut dan merendah, serta melimpah dalam semua karya kasih Kekristenan, meskipun tampak hina, sehina apa pun. Dan mengenai hal ini, Kristus sendiri telah memberikan contoh kepada kita semua.
[3] Ada alasan yang baik untuk semuanya ini (ay. 12).
Pertama, hukuman yang tersedia bagi mereka yang angkuh, barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan.
Bila Allah membuat mereka bertobat, mereka sendiri akan merasa rendah dalam pandangan mereka sendiri, dan akan membenci diri sendiri karena kesombongan mereka itu. Tetapi, bila mereka tidak bertobat, cepat atau lambat, mereka akan direndahkan di hadapan dunia ini. Nebukadnezar, pada puncak kesombongannya, dijadikan sama seperti seekor binatang. Herodes menjadi makanan pesta bagi cacing-cacing. Babel, yang duduk bagai seorang ratu, menjadi ejekan bangsa-bangsa. Allah membuat para imam yang angkuh dan berkeinginan tinggi menjadi hina dan keji (Mal. 2:9), dan nabi yang mengajarkan dusta akan menjadi ekor (Yes. 9:14). Bila orang-orang yang meninggikan diri tidak menunjukkan kerendahan hati di dunia ini, akan tiba saatnya mereka akan dibangkitkan untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal (Dan. 12:2). Orang-orang yang berbuat congkak diganjar-Nya dengan tidak tanggung-tanggung (Mzm. 31:24).
Kedua, kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang rendah hati, barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.
Kerendahan hati merupakan perhiasan yang sangat berharga di mata Allah. Di dunia ini, orang-orang yang rendah hati memiliki kehormatan untuk diterima oleh Allah yang kudus, dan dihormati oleh orang-orang bijak dan baik. Mereka menjadi orang-orang yang memenuhi syarat dan sering dipanggil untuk melakukan pelayanan-pelayanan terhormat. Kehormatan itu seperti bayang-bayang, yang akan lari dari mereka yang mengejar dan mencoba menangkapnya, tetapi akan mengikuti mereka yang meninggalkannya. Selain itu, di dunia lain, mereka yang merendahkan diri dalam kesedihan yang mendalam akibat dosa-dosa mereka, sesuai dengan kehendak Allah, dan sikap rendah hati terhadap saudara-saudara mereka, akan ditinggikan untuk mewarisi takhta kemuliaan. Mereka bukan saja akan diakui, tetapi juga dimahkotai di hadapan para malaikat dan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar