Minggu, 10 April 2022

Tafsiran Injil Lukas 15:11-32

JANGAN MAIN-MAIN KEMBALIN DAN MELAYANI TUHAN 

Perumpamaan tentang anak yang hilang mempunyai tujuan yang sama dengan kedua perumpamaan sebelumnya, yaitu untuk menunjukkan betapa senangnya Allah dengan pertobatan orang-orang yang berdosa, bahkan yang sangat berdosa sekalipun, dan betapa Ia siap menerima dan menjamu mereka pada saat mereka bertobat. Namun keadaan yang melatarbelakangi perumpamaan ini menggambarkan kekayaan-kekayaan sebagai anugerah Allah secara lebih luas dan menyeluruh daripada kedua perumpamaan sebelumnya. Perumpamaan ini sudah, dan selama dunia masih berputar, akan terus memberikan manfaat yang tak terkira kepada orang-orang berdosa yang malang, untuk membimbing maupun mendorong mereka untuk bertobat dan berbalik kepada Allah. 

I. Perumpamaan ini menggambarkan Allah sebagai Bapa bagi seluruh umat manusia.

Kita semua mempunyai satu Bapa, dan satu Allah yang menciptakan (Mal. 2:10). Dari-Nyalah kita ada, di dalam Dialah kita tetap ada, dan oleh-Nyalah kita terus dipelihara. Dialah Bapa kita, sebab Dia memberikan didikan dan bagian kepada kita, dan akan menyertakan kita dalam perjanjian-Nya, atau mengeluarkan kita darinya, tergantung apakah kita anak-anak-Nya yang patuh kepada-Nya atau tidak. Juruselamat kita dengan demikian menunjukkan kepada orang-orang Farisi yang sombong itu bahwa para pemungut cukai dan orang berdosa, yang begitu mereka rendahkan, adalah saudara-saudara mereka, yang mempunyai sifat kemanusiaan yang sama. Karena itu, sepatutnya mereka senang dengan segala kebaikan yang ditujukan kepada para pemungut cukai dan orang berdosa itu. Allah bukanlah hanya Allah orang Yahudi saja, melainkan juga Allah bangsa-bangsa lain (Rm. 3:29): Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya akan belas kasihan bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.

II. Perumpamaan ini menggambarkan anak-anak manusia sebagai orang yang berbeda-beda tabiatnya, walaupun semuanya mempunyai hubungan dengan Allah sebagai Bapa mereka. Ia mempunyai dua anak, yang satu seorang yang tegas dan serius, pendiam dan keras, dan berpembawaan tenang, namun sama sekali tidak ramah terhadap orang-orang di sekelilingnya. Orang seperti ini biasanya memegang teguh segala didikan yang telah diterimanya, dan tidak akan mudah tergoda untuk menjauh darinya. Sedang(kan yang lain adalah seorang yang mudah bimbang dan sering berubah-ubah pendirian, yang tidak mau dikekang, suka berpetualang dan mencoba-coba berbagai hal yang baru, dan jika terjerumus ke dalam pergaulan yang buruk, kemungkinan besar ia akan menjadi orang yang tidak bermoral, kendati dengan pendidikan baik yang sudah diterimanya selama ini. Nah, orang yang kedua ini mewakili para pemungut cukai dan orang berdosa, yang hendak dipertobatkan oleh Kristus, dan orang-orang bukan-Yahudi, yang kepada mereka para rasul diutus untuk memberitakan pertobatan. Orang yang pertama mewakili orang Yahudi pada umumnya, dan terutama orang-orang Farisi, yang hendak didamaikan oleh Kristus dengan anugerah Allah yang sudah ditawarkan dan dianugerahkan kepada orang-orang berdosa. Anak bungsu adalah anak yang hilang, yang tabiat dan perkaranya di sini menggambarkan tabiat dan keadaan orang-orang berdosa, tabiat dan keadaan kita semua secara alami, tetapi terutama keadaan sebagian orang. Sekarang mari kita amati si anak bungsu ini.

Kehidupan foya-foya dan petualangannya ketika dia terhilang, dan segala kemewahan serta kesengsaraan yang dialaminya. Kita diceritakan tentang:

(1) Apa permintaannya kepada bapanya (ay. 12): kata yang bungsu kepada ayahnya, dengan angkuh dan kurang ajar, "Bapa, berikanlah kepadaku" sebenarnya ia bisa saja menambahkan sedikit lagi perkataan yang baik, dan berkata, "Tolong berikanlah kepadaku," atau, "Bapa, kalau boleh, tolong berikanlah kepadaku," tetapi dengan angkuhnya ia menuntut, "Berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku, bukan yang menurutmu sesuai untuk diberikan kepadaku, melainkan apa yang menjadi hakku." Perhatikanlah, sungguh tidak baik, dan akan menjurus pada kejahatan, jika manusia melihat karunia-karunia Allah sebagai utang. "Berikanlah kepadaku bagianku, semua bagianku sebagai anak, bagian yang menjadi hakku," bukan, "Coba berikan sedikit saja dulu, dan kita lihat nanti bagaimana aku dapat mengaturnya, dan kalau berhasil, percayakanlah kepadaku lebih banyak lagi," tetapi "Berikanlah kepadaku semua milikku sekarang, dan aku tidak akan mengharapkan lagi sisanya, apa pun setelah ini." Perhatikanlah, kebodohan besar orang-orang berdosa, yang menghancurkan mereka sendiri, adalah keinginan untuk mendapatkan semua bagian mereka di tangan mereka. Mereka ingin agar sekarang ini juga di dalam kehidupan ini mereka menerima hal-hal yang baik. Mereka hanya melihat hal-hal yang tampak, yang sementara, dan hanya menginginkan kepuasan sesaat, dan tidak mau peduli dengan kebahagiaan besar di masa nanti, ketika kesenangan duniawi habis dan lenyap. Dan mengapakah ia ingin mendapatkan bagiannya di tangannya sekarang juga? Apakah karena ia ingin mendirikan suatu usaha dan berdagang, sehingga ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak? Tidak, ia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Tetapi karena:

[1] Ia muak dengan perintah ayahnya, dengan segala peraturan dan disiplin yang baik dalam keluarganya, dan lebih mendambakan apa yang dengan keliru disebut sebagai kebebasan, yang sebetulnya justru merupakan perbudakan terbesar, sebab demikianlah adanya kebebasan untuk berdosa itu. Lihatlah kebodohan banyak orang muda, yang terdidik dalam agama, tetapi tidak mau dikungkung dalam aturannya. Mereka merasa belum menjadi tuan atas diri sendiri, penguasa atas diri mereka sendiri, sebelum memutuskan semua belenggu Allah, dan membuang tali-tali-Nya dari mereka. Dan sebagai gantinya, mereka membelenggu diri sendiri dengan tali-tali hawa nafsu mereka. Inilah awal mula mengapa orang-orang berdosa menjadi murtad dan berpaling dari Allah. Mereka tidak mau dibelenggu oleh aturan-aturan pemerintahan Allah, mereka ingin menjadi ilah-ilah bagi diri mereka sendiri. Bagi mereka tidak ada yang namanya baik atau buruk, yang ada hanyalah apa yang dapat menyenangkan hati mereka.

[2] Ia ingin menjauh dari pandangan mata ayahnya, sebab mata itu sering mengawasinya. Keengganan terhadap Allah dan keinginan untuk tidak memercayai kemahatahuan-Nya merupakan penyebab utama orang-orang jahat berbuat jahat.

[3] Ia tidak memercayai pengaturan ayahnya. Ia menginginkan bagian harta miliknya sendiri, sebab ia berpikir bahwa ayahnya ingin mengumpulkan uang untuknya di kemudian hari, dan karena itu ayahnya akan membatasi pengeluarannya pada saat ini, dan ia tidak menyukai hal ini.

[4] Ia bangga akan dirinya sendiri, dan dengan angkuh berpikir bahwa dirinya sudah mapan. Ia berpikir bahwa jika ia mendapatkan bagiannya di tangannya sendiri, maka ia dapat mengaturnya dengan lebih baik daripada ayahnya, dan bahkan akan membuat jumlahnya bertambah banyak. Banyak anak muda dihancurkan oleh kesombongan daripada oleh nafsu-nafsu lain. Orangtua kita yang pertama menghancurkan diri mereka sendiri dan semua kepunyaan mereka dengan ambisi bodoh untuk berdiri sendiri, dan tidak ingin bergantung kepada pemeliharaan Allah. Demikianlah yang menjadi penyebab orang-orang berdosa terus hidup dalam dosa mereka -- mereka ingin menentukan segala sesuatu bagi diri mereka sendiri.

(2) Betapa baiknya ayahnya kepadanya: ia membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Ia menghitung apa yang harus dibagikannya kepada kedua anaknya, dan memberi anak bungsunya apa yang telah menjadi bagiannya, dan menawarkan bagian lain lagi kepada anak sulungnya, yang jumlahnya mungkin, seperti yang seharusnya, dua kali lipat. Tetapi tampaknya si anak sulung ini ingin agar ayahnya tetap menyimpan bagiannya itu, dan lihatlah apa yang didapatnya kemudian (ay. 31): segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Ia mendapatkan semuanya dengan menunggu bagiannya pada saat yang tepat. Sang ayah memberi anak bungsunya apa yang dimintanya, dan ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk mengeluh bahwa ayahnya membagi-bagikan hartanya dengan tidak adil, sebab ia sudah mendapatkan apa yang diharapkannya, bahkan mungkin lebih.

[1] Jadi, sebenarnya ia sudah bisa melihat kebaikan ayahnya sekarang, betapa ayahnya ingin menyenangkannya dan memudahkan hidupnya, dan ia bukanlah ayah yang tidak baik seperti yang dibayangkannya ketika ia mencari-cari alasan untuk pergi.

[2] Jadi, sebentar lagi ia akan melihat kebodohannya sendiri, bahwa ia bukanlah pengelola yang bijak bagi dirinya sendiri seperti yang diyakininya. Perhatikanlah, Allah adalah Bapa yang baik bagi semua anak-Nya, dan Ia memberi mereka semua kehidupan, nafas, dan segala sesuatu, bahkan kepada orang-orang yang jahat dan tidak tahu bersyukur, dieilen autois ton bion -- Ia membagi-bagikan kehidupan kepada mereka. Dengan memberi kehidupan kepada kita, Allah memampukan kita untuk melayani dan memuliakan Dia.

(3) Bagaimana ia mengatur dirinya sendiri ketika ia sudah mendapatkan semua bagiannya itu. Ia segera menghabiskan bagiannya itu secepat mungkin, dan seperti orang yang suka berfoya-foya pada umumnya, dalam waktu singkat ia pun membuat dirinya menjadi pengemis: beberapa hari kemudian (ay. 13). Perhatikanlah, seandainya Allah sebentar saja membiarkan kita berbuat semaunya, maka kita pasti akan segera meninggalkan-Nya. Apabila kekang anugerah dilepaskan, maka kita akan segera binasa. Yang diinginkan si anak bungsu itu adalah cepat-cepat pergi, dan untuk itu, ia mengumpulkan semua harta kekayaannya. Orang-orang berdosa yang tersesat dari Allah mempertaruhkan segala sesuatu yang mereka miliki.

Keadaan anak hilang dalam petualangannya ini menggambarkan kepada kita suatu keadaan dosa, keadaan yang menyedihkan, yang ke dalamnya manusia telah jatuh.

[1] Keadaan dosa adalah suatu keadaan di mana kita meninggalkan Allah dan menjauhkan diri dari-Nya.

Pertama, hakikat dosa adalah meninggalkan Allah. Ia pergi dan berjalan menjauh dari rumah ayahnya. Orang-orang berdosa melarikan diri dari Allah. Mereka meninggalkan Dia dan pergi melacurkan diri; mereka memberontak menjadi tidak setia terhadap-Nya, seperti seorang hamba yang melarikan diri dari tugasnya, atau istri yang berkhianat meninggalkan suaminya. Mereka berkata kepada Allah, "Enyahlah." Mereka pergi dari-Nya sejauh mungkin. Dunia adalah negeri jauh tempat mereka tinggal, di situ mereka merasa seperti di rumah sendiri, dan untuk melayani serta menikmatinya mereka menghabiskan semua yang mereka miliki.

Kedua, yang membuat orang-orang berdosa sengsara adalah bahwa mereka jauh dari Allah, dari Dia yang adalah Sumber segala kebaikan. Mereka menderita karena semakin hari semakin jauh mereka daripada-Nya. Apa sebenarnya neraka itu, selain daripada berada sangat jauh dari Allah?

[2] Keadaan dosa adalah keadaan di mana kita menghabiskan segala sesuatu: di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya (ay. 13), menghabiskannya bersama-sama dengan pelacur (ay. 30), dan sebentar saja sudah dihabiskannya semuanya (ay. 14). Ia membeli pakaian yang bagus-bagus, menghabiskan banyak uang untuk membeli makanan dan minuman, bergaya hidup mewah, dan bergaul dengan orang-orang yang membantu menghabiskan apa yang dimilikinya dalam waktu sekejap. Dalam kehidupan di dunia ini, orang yang hidup berfoya-foya menghabiskan apa yang mereka miliki, dan mereka akan dimintai banyak pertanggungjawaban, karena mereka menghabiskannya untuk memuaskan hawa nafsu mereka sendiri, padahal seharusnya semua itu disediakan guna memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga mereka sendiri. Namun demikian, hal ini haruslah diartikan secara rohani. Orang-orang yang dengan sengaja berdosa memboroskan warisan mereka, sebab mereka menyalahgunakan segala pikiran dan kekuatan jiwa mereka, serta menyia-nyiakan segala waktu dan kesempatan mereka. Mereka tidak saja menguburkan, tetapi juga menyalahgunakan talenta-talenta yang seharusnya mereka gunakan untuk kehormatan Tuan mereka. Dan pemberian-pemberian Allah, yang dimaksudkan untuk memampukan mereka melayani-Nya dan berbuat kebajikan, dijadikan sebagai makanan dan bahan bakar untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Jiwa yang dijadikan budak, entah bagi dunia ataupun bagi nafsu kedagingan, memboroskan harta miliknya dan hidup berfoya-foya. Satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik (Pkh. 9:18). Barang yang dihancurkannya ini sangatlah berharga, dan sama sekali bukan kepunyaannya sendiri. Barang-barang Tuannyalah yang diboroskannya, dan karena itu harus dipertanggungjawabkannya.

[3] Keadaan dosa adalah keadaan yang serba kekurangan: setelah dihabiskannya semuanya untuk pelacur-pelacurnya, mereka pun meninggalkan dia, untuk mencari korban lain yang serupa. Lalu timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu, semuanya menjadi serba jarang dan mahal, dan ia pun mulai melarat (ay. 14). Perhatikanlah, kehidupan yang boros mengakibatkan kemelaratan. Hidup yang foya-foya pada akhirnya, mungkin dalam waktu singkat, akan membuat orang kelaparan mencari sesuap nasi, terutama apabila masa-masa kering datang secara mendadak akibat gagal panen. Ini menggambarkan kesengsaraan orang-orang berdosa, yang telah menerima tetapi kemudian membuang segala berkat, karunia Allah, bagian mereka dalam Kristus, kuasa Roh, dan teguran-teguran suara hati. Semuanya ini mereka buang demi kenikmatan badani dan kekayaan duniawi, dan kemudian mereka akan segera binasa karena kehabisan hal-hal tersebut. Orang-orang berdosa kekurangan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi jiwa mereka, mereka tidak mempunyai makanan ataupun pakaian untuk jiwa mereka, ataupun perbekalan untuk kehidupan yang akan datang. Keadaan dosa adalah seperti negeri yang dilanda kelaparan, kelaparan besar, karena langit menjadi seperti tembaga (embun-embun kebaikan Allah dan berkat-berkat-Nya tertahan, dan pasti kita tidak akan mendapatkan hal-hal yang baik jika Allah menahannya dari kita). Bumi menjadi seperti besi (hati orang berdosa, yang seharusnya mengeluarkan hal-hal yang baik, menjadi kering dan tandus, dan tidak ada yang baik di dalamnya). Orang-orang berdosa sungguh sangat melarat, dan yang lebih buruk lagi, mereka sendirilah yang mengakibatkan keadaan itu, dan terus tinggal di dalamnya dengan menolak menerima segala bantuan yang ditawarkan.

[4] Keadaan dosa adalah keadaan perbudakan dan kecemaran. Ketika kehidupan boros anak muda ini membuatnya kelaparan, kelaparannya membawanya pada perbudakan. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu (ay. 15). Kehidupan jahat yang sama yang sebelumnya digambarkan dengan kehidupan foya-foya, sekarang digambarkan di sini dengan kehidupan perbudakan, sebab orang-orang berdosa adalah budak dalam arti yang sesungguhnya. Iblis adalah majikan di negeri itu, sebab ia berada baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Orang-orang berdosa menggabungkan dirinya sendiri kepadanya, menyewa diri sendiri untuk melayaninya, untuk melakukan pekerjaannya, bersedia disuruh-suruh olehnya, dan bergantung padanya untuk mendapatkan pemeliharaan dan bagian upah. Orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa (Yoh. 8:34). Lihatlah bagaimana si tuan muda ini merendahkan dan menghina dirinya dengan menyewa dirinya sendiri untuk melayani dan diperintah oleh majikan yang demikian! Ia menyuruhnya ke ladang, bukan untuk memberi makan domba (pekerjaan ini masih sedikit bernilai; Yakub, Musa, dan Daud menjaga domba), melainkan untuk menjaga babi. Pekerjaan hamba-hamba Iblis adalah merawat tubuh untuk memuaskan keinginannya, dan ini sama saja buruknya dengan memberi makan babi yang rakus, kotor, dan gaduh. Bagaimana mungkin jiwa yang berakal dan kekal ini begitu merendahkan dirinya seperti ini?

[5] Keadaan dosa adalah keadaan yang selalu tidak puas.

Ketika anak yang hilang itu mulai kelaparan, ia berpikir untuk menolong dirinya dengan bekerja, dan ia harus puas dengan persediaan yang tersedia, bukan oleh tuan rumah, melainkan oleh ladang tempat kerjanya. Akan tetapi, persediaan ini pun sungguh sangat sedikit: ia ingin mengisi perutnya, memuaskan rasa laparnya, dan memberi makan tubuhnya, dengan ampas yang menjadi makanan babi itu (ay. 16). Sungguh malang jalan yang telah ditempuh oleh tuan muda ini sampai ia menjadi senasib dengan kawanan babi! Perhatikanlah, apa yang diidam-idamkan orang-orang berdosa akan membawa kepuasan, ketika mereka pergi meninggalkan Allah, pasti akan mengecewakan mereka. Mereka berjerih payah untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan (Yes. 55:2). Batu sandungan yang menjatuhkan mereka ke dalam kesalahan itu tidak akan dapat mengenyangkan jiwa mereka atau mengisi perut mereka (Yeh. 7:19). Ampas adalah makanan untuk babi, bukan manusia. Kekayaan duniawi dan kenikmatan jasmani memang akan memuaskan tubuh, tetapi apa gunanya bagi jiwa-jiwa yang berharga? Semua itu tidak sesuai dengan hakikat jiwa, dan tidak akan memuaskan keinginan-keinginannya ataupun memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Orang yang mengejar-ngejar semua itu hanyalah mengejar angin (Hos. 12:2) dan sibuk dengan abu belaka (Yes. 44:20).

[6] Keadaan dosa adalah keadaan di mana kita tidak bisa mengharapkan penghiburan dari makhluk mana pun. Anak yang hilang ini, ketika tidak bisa mendapat makanan dengan bekerja, ia meminta-minta. Tetapi tidak seorang pun memberi makanan kepadanya, karena mereka tahu bahwa ia sendirilah yang mengakibatkan kesengsaraan ini pada dirinya, dan karena ia adalah orang yang tidak bermoral, yang selalu membangkitkan amarah semua orang. Orang miskin seperti itu pasti tidak akan dikasihani. Dengan menerapkan perumpamaan tadi, hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meninggalkan Allah pasti tidak dapat ditolong oleh siapa pun. Sia-sialah kita berseru kepada dunia dan kedagingan (ilah-ilah yang telah kita layani itu), karena mereka hanya bisa meracuni jiwa, tetapi tidak bisa memberinya makan dan membuatnya tumbuh. Jika engkau menolak pertolongan Allah, makhluk mana lagi yang akan menolongmu?

[7] Keadaan dosa adalah keadaan mati: anakku ini telah mati (ay. 24, 32). Orang yang berdosa bukan hanya mati secara hukum, karena ia ada di bawah hukuman mati, melainkan juga sedang dalam keadaan mati, mati dalam segala pelanggaran dan dosa, dan miskin akan kehidupan rohani. Ia tidak bersekutu bersama Kristus, tidak ada kepekaan rohani, tidak hidup bagi Allah, dan karena itu ia mati. Anak hilang di negeri yang jauh itu mati bagi ayahnya dan keluarganya, terpisah dari mereka, seperti tangan yang terpisah dari tubuhnya atau cabang dari pohonnya, dan karena itu mati, dan ini adalah perbuatannya sendiri.

[8] Keadaan dosa adalah keadaan terhilang: anakku ini telah hilang, hilang dari segala sesuatu yang baik, hilang dari segala kebajikan dan kehormatan, hilang dari rumah ayahnya, dan keluarganya pun tidak bersukacita karenanya. Jiwa-jiwa yang terpisah dari Allah adalah jiwa-jiwa yang terhilang, hilang seperti seorang pelancong yang tersesat, dan seandainya tidak dicegah oleh belas kasihan yang kekal, mereka akan segera lenyap seperti kapal yang tenggelam di dasar laut, hilang lenyap dan tidak dapat ditemukan kembali.

[9] Keadaan dosa adalah keadaan yang gila dan kacau-balau. Ini ditunjukkan dalam ungkapan di ayat 17 lalu ia menyadari keadaannya, yang menunjukkan bahwa sebelumnya ia tidak sadar. Pasti begitulah keadaan dirinya ketika ia meninggalkan rumah ayahnya, dan keadaannya bertambah parah ketika ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Kebebalan dikatakan ada dalam hati orang-orang berdosa (Pkh. 9:3). Iblis telah merasuki jiwa, dan kita sudah melihat betapa ganasnya orang yang kerasukan Legion! Orang-orang berdosa, seperti orang gila, menghancurkan diri mereka sendiri dengan hawa nafsu yang bodoh, dan pada saat yang sama pula mereka menipu diri mereka dengan harapan-harapan yang dungu. Dibandingkan dengan semua orang sakit, mereka ini yang paling menjadikan diri mereka sendiri sebagai musuh besar atas kesembuhan mereka sendiri.

Di sini kita melihat kepulangannya dari petualangan ini, kepulangannya dengan rasa menyesal kepada ayahnya. Ketika keadaannya sudah sangat parah, ia merasa sungguh ingin pulang kembali ke rumahnya. Perhatikanlah, kita tidak boleh putus asa menghadapi keadaan yang paling buruk, sebab selagi masih ada hidup, masih ada harapan. Anugerah Allah dapat melembutkan hati yang paling keras, dan membalikkan arus kejahatan yang paling kuat ke arah yang membahagiakan. Sekarang perhatikanlah di sini:

(1) Apa yang membuatnya kembali dan bertobat. Yang membuatnya kembali dan bertobat adalah penderitaannya. Ketika ia berkekurangan, ia menyadari dirinya. Perhatikanlah, penderitaan, apabila dikuduskan oleh anugerah ilahi, pasti akan menjadi sarana yang membahagiakan untuk membalikkan orang-orang berdosa dari jalan-jalan mereka yang salah. Dengan penderitaan, telinga menjadi terbuka terhadap kedisiplinan dan hati menjadi condong menerima perintah-perintah. Penderitaan juga merupakan bukti nyata akan kesia-siaan dunia dan kejahatan dosa. Coba kita terapkan hal ini secara rohani. Ketika kita menyadari ketidakmampuan makhluk-makhluk ciptaan untuk membuat kita bahagia, dan sudah mencoba semua cara lain untuk menghibur jiwa kita namun sia-sia, maka itulah saatnya kita harus berpikir untuk kembali kepada Allah. Ketika kita melihat betapa menyedihkannya orang-orang lain yang seharusnya menghibur kita, dan betapa tidak bergunanya dokter-dokter yang seharusnya menyembuhkan kita, betapa sia-sianya mereka semua bagi jiwa yang merintih dalam rasa bersalah dan kuasa dosa, dan tidak seorang pun dapat memberi kita apa yang kita perlukan, kecuali Kristus, maka pada saat itulah kita pasti akan berserah diri kepada Yesus Kristus.

(2) Apa yang dipersiapkannya supaya bisa kembali. Yang dipersiapkannya adalah pertimbangan. Ia berkata dalam hati, ia bertanya-tanya sendiri, ketika akal budinya kembali pulih, betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya! Perhatikanlah, pertimbangan adalah langkah awal menuju pertobatan (Yeh. 18:28). Ia insaf dan bertobat. Mempertimbangkan berarti berdiam diri, merenungi diri sendiri, membandingkan hal yang satu dengan yang lain, dan mengambil keputusan yang sesuai. Sekarang amatilah apa yang dipertimbangkannya.

[1] Ia mempertimbangkan betapa buruknya keadaannya: aku di sini mati kelaparan. Bukan hanya, "Aku lapar," tetapi, "Aku mati kelaparan, karena aku tidak melihat satu cara pun untuk menolong diriku." Perhatikanlah, orang-orang berdosa biasanya baru akan datang melayani Kristus kalau mereka sudah sadar bahwa mereka akan segera binasa jika terus-menerus melayani keinginan dosa. Kesadaran akan binasa itu seharusnya mendorong kita untuk datang kepada Kristus. Tuhan, tolonglah, kita binasa. Dan meskipun kita dihalau untuk datang kepada Kristus dengan paksaan seperti ini, Ia tidak akan menolak kita ataupun merasa direndahkan, melainkan akan merasa terhormat jika orang berserah kepada-Nya dalam keputusasaan.

[2] Ia berpikir betapa akan jauh lebih baik keadaannya jika ia kembali: betapa banyaknya orang upahan bapaku, orang-orang yang paling rendah dalam keluarganya, yang bekerja sebagai buruh harian, berlimpah-limpah makanannya. Betapa baiknya rumah yang dijaga bapaku! Perhatikanlah,

pertama, dalam rumah Bapa kita ada banyak makanan untuk seluruh keluarga-Nya. Hal ini diajarkan melalui dua belas ketul roti pajangan, yang selalu ada di atas mezbah di dalam ruang mahakudus, satu ketul untuk setiap suku. 

Kedua, ada makanan yang berlimpah, yang cukup untuk semua, cukup untuk setiap orang, cukup untuk disisakan bagi orang-orang yang akan bergabung dalam keluarga-Nya, dan cukup ada sisa untuk diberikan sebagai sedekah. Tetapi masih ada lagi, ada remah-remah yang jatuh dari meja-Nya, yang akan diterima dengan senang hati dan ucapan syukur oleh banyak orang.

Ketiga, bahkan orang-orang upahan dalam keluarga Allah terpelihara dengan baik. Orang paling hina yang ingin bekerja dalam keluarga-Nya, untuk melakukan pekerjaan-Nya, dan bergantung pada upah-Nya, akan dipelihara dengan baik.

Keempat, pemikiran akan hal ini seharusnya membuat orang-orang berdosa, yang sudah tersesat dari Allah, merasa terdorong untuk kembali kepada-Nya. Demikianlah si perempuan pezinah itu berkata-kata dalam hatinya, ketika ia kecewa dengan kekasih-kekasih barunya: aku akan pulang kembali kepada suamiku yang pertama, sebab waktu itu aku lebih berbahagia dari pada sekarang (Hos. 2:6).

(3) Apa tujuan dari semua pertimbangannya itu. Karena keadaannya sudah sedemikian buruk, dan mungkin hanya akan menjadi lebih baik jika ia kembali kepada ayahnya, akhirnya pertimbangannya itu membawanya pada suatu keputusan: aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Perhatikanlah, tujuan yang baik memang baik, tetapi yang terbaik dari semuanya adalah bertindak.

[1] Ia memutuskan apa yang akan dilakukannya: aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Ia tidak mau berlambat-lambat, tetapi segera bangkit dan pergi. Meskipun ia berada di negeri yang jauh, sangat jauh dari rumah ayahnya, sejauh apa pun itu, ia tetap akan kembali pulang. Setiap langkah yang menjauh dari Allah harus menjadi setiap langkah untuk kembali kepada-Nya. Meskipun ia bekerja pada seorang majikan di negeri itu, ia tidak merasa kesulitan memutuskan pekerjaannya dengan majikannya. Kita bukanlah orang-orang yang berutang kepada daging, kita sama sekali tidak berkewajiban memberi tahu majikan-majikan kita di Mesir terlebih dulu, kita bisa berhenti bekerja kapan saja kita mau. Amatilah tekadnya ketika ia berkata, "Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku. Aku sudah bertekad untuk pergi, apa pun yang akan terjadi nanti, daripada tinggal di sini dan mati kelaparan."

[2] Ia menentukan apa yang akan dikatakannya nanti. Pertobatan yang sejati adalah bangkit dan datang kepada Allah: inilah kami, kami datang kepada-Mu. Akan tetapi, apakah yang akan kita katakan nanti? Di sini ia memikir-mikirkan apa yang akan dikatakannya. Perhatikanlah, dalam semua permohonan kita kepada Allah, alangkah baiknya jika kita memikirkan terlebih dulu apa yang akan kita katakan, sehingga kita bisa memaparkan perkara kita di hadapan-Nya, dan memenuhi mulut kita dengan kata-kata pembelaan. Kita diberi kebebasan berbicara, dan kita harus memikirkan dengan sungguh-sungguh bagaimana kita dapat menggunakan kebebasan itu sepenuhnya, tanpa menyelewengkannya. Marilah kita lihat sekarang apa yang ingin dikatakannya.

Pertama, ia akan mengakui kesalahan dan kebodohannya: aku telah berdosa. Perhatikanlah, karena kita semua telah berdosa, penting bagi kita, dan sudah menjadi keharusan bagi kita, untuk mengakui bahwa kita telah berdosa. Pengakuan dosa merupakan hal yang diharuskan dan sangat ditekankan, sebagai syarat penting untuk mendapatkan damai sejahtera dan pengampunan. Jika kita mengaku tidak berdosa, kita akan didakwa dengan kovenan kesucian, yang pasti akan menyatakan kita bersalah. Sedangkan jika kita mengaku berdosa, dengan hati menyesal, bertobat, dan taat, maka kita membuka diri pada kovenan anugerah, yang menawarkan pengampunan bagi orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka.

Kedua, ia sungguh akan menyatakan betapa besar dosanya, tidak akan memperingankannya, dan bersedia menanggung bebannya: aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa. Biarlah mereka yang tidak patuh kepada orangtua mereka di dunia ini memikirkan hal ini, bahwa mereka berdosa terhadap sorga dan di hadapan Allah. Pelanggaran terhadap orangtua adalah pelanggaran terhadap Allah. Marilah kita semua memikirkannya, karena inilah yang membuat dosa kita luar biasa besar, dan oleh sebab itu kita harus sangat berduka karenanya.

D3 atas diri kita: kita telah berdosa terhadap Sorga. Di sini Allah disebut Sorga, untuk menunjukkan betapa jauh ditinggikannya Dia di atas kita, dan betapa besar kekuasaan-Nya atas diri kita, sebab Sorgalah yang mengatur segala-galanya. Kejahatan dosa mengarah tinggi ke atas, menentang Sorga. Orang yang berani berdosa dikatakan membuka mulut mereka melawan langit (Mzm. 73:9). Namun demikian, dosa adalah kejahatan yang tidak berdaya, sebab kita tidak dapat menyakiti sorga. Bahkan, terlebih lagi, dosa adalah kejahatan yang bodoh, sebab apa yang ditembakkan melawan sorga akan kembali menimpa kepala orang yang menembakkannya (Mzm. 7:17). Dosa adalah penghinaan terhadap Allah di sorga, dosa menghilangkan kemuliaan dan sukacita sorgawi, dan bertentangan dengan rancangan-rancangan Kerajaan Sorga.

Dosa diperbuat dengan menghina pengawasan Allah terhadap diri kita: "Aku telah berdosa terhadap sorga, dan di hadapan-Mu, di depan mata-Mu." Tidak ada lagi penghinaan yang lebih besar daripada ini.

Ketiga, ia akan menghakimi dan mempersalahkan dirinya sendiri atas semua dosa itu, dan mengaku bahwa ia telah menyia-nyiakan segala hak istimewa yang diterimanya dari keluarganya: aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa (ay. 19). Ia tidak menyangkal hubungannya dengan ayahnya (sebab hanya itu sajalah yang harus diandalkannya), tetapi ia mengakui bahwa ayahnya bisa saja dengan adil menyangkal hubungan itu, dan menutup pintu baginya. Atas permintaannya sendiri, ia telah mendapatkan semua bagian yang menjadi haknya, dan tidak mempunyai alasan untuk meminta lagi. Perhatikanlah, sudah seharusnya orang-orang berdosa mengakui diri mereka tidak layak menerima kebaikan apa pun dari Allah. Mereka harus merendahkan diri dan bersimpuh di hadapan-Nya. 

Keempat, namun demikian ia akan memohon supaya diterima kembali ke dalam keluarganya, meskipun harus tinggal di tempat yang paling hina di sana: "Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa, itu sudah cukup baik, malah terlalu baik bagiku." Perhatikanlah, para petobat sejati pasti sangat menghargai rumah Allah, beserta segala hak istimewa yang ada di dalamnya, dan akan senang tinggal di tempat mana saja, meskipun hanya sebagai penjaga pintu (Mzm. 84:11). Sekalipun didudukkan bersama orang-orang upahan, ia tidak saja akan menyanggupinya, malah lebih menyukainya, daripada harus hidup dengan keadaannya yang sekarang. Orang-orang yang berbalik kepada Allah, yang terhadap-Nya mereka telah memberontak, pasti ingin dipekerjakan oleh Dia sebagai apa saja. Mereka ingin digunakan untuk melayani dan memuliakan nama-Nya: "Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa, supaya aku bisa menunjukkan cintaku pada rumah ayahku sebesar yang telah aku sia-siakan ketika mengabaikannya dulu."

Kelima, dalam melakukan semuanya ini ia memandang ayahnya sebagai seorang ayah: Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya, "Bapa." Perhatikanlah, memandang Allah sebagai Bapa, Bapa kita, sangatlah besar manfaatnya ketika kita bertobat dan kembali kepada-Nya. Hal ini akan membuat kita sungguh-sungguh menyesali dosa kita, menguatkan ketetapan hati kita untuk melawan dosa, dan mendorong kita untuk mengharapkan pengampunan. Allah senang dipanggil Bapa, baik oleh orang-orang yang bertobat maupun yang memohon. Anak kesayangankah gerangan Efraim?

(4) Apa yang dilakukannya untuk menindaklanjuti rencana ini: maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketetapan hatinya yang baik itu segera dilaksanakannya tanpa ditunda-tunda. Ia menempa besi selagi panas, ia mengambil kesempatan pada saat itu juga, dan tidak menunda-nunda menunggu waktu yang lebih enak. Perhatikanlah, kita harus secepat mungkin menindaklanjuti apa yang sudah kita tetapkan. Sudahkah kita berkata bahwa kita akan bangkit dan pergi? Kalau begitu marilah kita segera bangkit dan pergi. Ia tidak pergi dengan setengah hati, lalu berpura-pura kelelahan dan tidak bisa berjalan lagi, melainkan, meskipun merasa lemah dan letih, ia melakukannya sampai tuntas. Jika engkau mau kembali, hai Israel, kembalilah engkau kepada-Ku, dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan.

Di sini kita melihat dia diterima dan dihibur oleh ayahnya: ia pergi kepada bapanya. Tetapi, apakah ia disambut di sana? Ya benar, ia disambut dengan penuh rasa haru. Dan, omong-omong, ini juga merupakan contoh bagi para orangtua yang anak-anaknya sudah berbuat bodoh dan tidak patuh, bahwa jika mereka berbalik dan berserah diri, janganlah berlaku kasar dan kejam terhadap mereka, melainkan haruslah mengendalikan diri dengan hikmat yang dari atas, dengan lemah-lembut dan tenang. Biarlah orang-orang tua mengikut Allah, penuh belas kasih seperti Dia. Namun kisah ini terutama dirancang untuk menunjukkan anugerah dan belas kasihan Allah terhadap orang-orang berdosa yang malang yang bertobat dan kembali kepada-Nya, dan kesediaan-Nya untuk mengampuni mereka. Sekarang perhatikanlah di sini: 

(1) Kasih sayang yang besar dari sang ayah ketika ia menerima kembali anaknya: ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya (ay. 20). Ia mengungkapkan kebaikannya sebelum anaknya mengungkapkan penyesalannya, sebab Allah bertindak mendahului kita dengan berkat-berkat kebaikan-Nya. Bahkan sebelum kita berseru-seru Ia sudah menjawab, sebab Ia tahu apa yang ada dalam hati kita. Aku akan mengakui pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahanku. Sungguh hidup gambaran-gambaran yang diperlihatkan di sini!

[1] Inilah mata yang penuh belas kasihan, dan cepat melihat: ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, sebelum anggota keluarga yang lain mengetahui kedatangannya, seolah-olah dari puncak menara yang tinggi ia selalu melihat ke arah anaknya pergi, sambil berpikir, "Oh, semoga saja di kejauhan sana aku bisa melihat anakku sedang kembali menuju ke sini!" Ini menunjukkan keinginan Allah akan pertobatan orang-orang berdosa, dan kesediaannya untuk menemui mereka yang datang kepada-Nya. Ia memperhatikan umat manusia, ketika mereka tersesat dari-Nya, dan melihat apakah mereka akan kembali kepada-Nya. Ia peduli agar mereka kembali kepada-Nya.

[2] Inilah hati yang penuh dengan belas kasihan, dan hati itu bergejolak di dalam dirinya, rindu begitu melihat anaknya: lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kesengsaraan memerlukan belas kasihan, bahkan kesengsaraan orang berdosa. Meskipun kita sendiri yang mengakibatkannya, Allah tetap berbelas kasihan, hati-Nya berduka karena kesengsaraan Israel (Hos. 11:8; Hak. 10:16).

[3] Inilah kaki yang penuh dengan belas kasihan, dan kedua kaki itu cepat melangkah: ia berlari. Ini menunjukkan betapa siap dan sigapnya Allah dalam menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita. Anak yang hilang itu datang dengan lunglai, terbeban oleh rasa malu dan takut, namun sang ayah yang lemah lembut itu berlari menemuinya dan memberinya semangat.

[4] Inilah lengan yang penuh dengan belas kasihan, dan kedua lengan itu terentang lebar untuk memeluknya: dia merangkul anaknya. Meskipun anaknya bersalah dan pantas dipukul, meskipun ia kotor dan baru saja memberi makan babi, sampai orang yang tidak mempunyai belas kasihan yang kuat dan lembut seperti seorang ayah pasti akan jijik menyentuhnya, ia tetap merangkul anaknya, membawanya ke dalam pelukannya. Begitu dikasihinya para petobat yang sejati oleh Allah, begitu disambutnya mereka oleh Tuhan Yesus.

[5] Inilah bibir yang penuh dengan belas kasihan, dan bibir itu manis seperti madu: ia menciumnya. Ciuman ini membuatnya yakin bahwa ia tidak saja disambut tetapi juga diampuni. Semua kebodohannya yang telah lalu kini diampuni, dan tidak akan diungkit-ungkit lagi untuk melawannya, dan di sini tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan untuk mencelanya. Ini seperti ciuman Daud terhadap Absalom (2Sam. 14:33). Ini juga menunjukkan betapa Tuhan Yesus bersedia, bebas, dan bersemangat menerima serta menghibur para pendosa malang yang bertobat, sesuai dengan kehendak Bapa-Nya.

(2) Penyesalan dan penyerahan diri anak yang hilang itu terhadap ayahnya (ay. 21): kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa. Kebaikan sang ayah patut dipuji karena ia menunjukkannya kepada anaknya sebelum ia mengungkapkan penyesalannya. Demikian pula penyesalan sang anak layak dipuji karena ia mengungkapkannya setelah ayahnya menunjukkan kebaikan yang begitu besar kepadanya. Walaupun sudah menerima ciuman sebagai tanda pengampunan, ia tetap berkata, "Bapa, aku telah berdosa." Perhatikanlah, bahkan orang-orang yang sudah menerima pengampunan atas dosa-dosa mereka, dan sudah merasa tenang dengan pengampunan itu, harus benar-benar menyesali dosa mereka di dalam hati mereka, dan harus mengakuinya secara tulus dengan mulut mereka, bahkan untuk dosa-dosa yang mereka harap sudah diampuni. Daud menulis Mazmur 51 setelah Natan berkata kepadanya, "TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati." Bahkan, rasa tenang karena pengampunan dosa haruslah menambah dukacita kita terhadap dosa itu, dan dukacita yang bertambah karena merenungkan dosa adalah dukacita yang sungguh-sungguh injili: dan dengan itu engkau akan teringat-ingat yang dulu dan merasa malu, sehingga mulutmu terkatup sama sekali karena nodamu, waktu Aku mengadakan pendamaian bagimu (Yeh. 16:63). Semakin sering kita melihat kesediaan Allah untuk mengampuni kita, semakin sulit seharusnya kita mengampuni diri kita sendiri.

(3) Persediaan berlimpah yang diberikan ayah yang baik hati ini untuk menyambut kepulangan anaknya yang hilang itu. Anak itu terus berkata-kata dalam penyesalannya, namun ada satu perkataan yang berniat disampaikannya (ay. 19), tetapi tidak kita lihat benar-benar disampaikannya (ay. 21), yaitu, jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Kita tidak mungkin menganggap bahwa ia sudah melupakannya, apalagi sampai berubah pikiran, bahwa sekarang ia sudah tidak begitu ingin lagi berada bersama keluarganya atau tidak lagi bersedia dijadikan orang upahan seperti yang direncanakannya sebelumnya. Yang terjadi, ayahnya menyela, mencegahnya berkata demikian, "Sudahlah anakku, janganlah berbicara lagi tentang ketidaklayakanmu, engkau kusambut dengan senang hati, dan meskipun engkau tidak layak disebut anak bapa, engkau akan kuperlakukan sebagai anak kesayangan, sebagai anak yang menyenangkan hati." Orang yang sudah disambut seperti ini tidak perlu lagi meminta dijadikan sebagai orang upahan. Demikian pula halnya, ketika Efraim meratap, Allah menghiburnya (Yer. 31:18-20). Aneh bahwa di sini tidak ada sepatah kata teguran pun: "Mengapa engkau tidak tinggal bersama-sama dengan pelacur-pelacur dan babi-babimu itu? Engkau pasti tidak akan pulang sebelum tongkatmu sendiri yang memukulmu ke sini." Tidak, di sini tidak ada sepatah kata pun seperti itu, dan ini menunjukkan bahwa ketika Allah mengampuni dosa-dosa para petobat sejati, Ia melupakan semua dosa mereka, Ia tidak mengingat-ingatnya lagi, segala durhaka yang mereka buat tidak akan diingat-ingat lagi terhadap mereka (Yeh. 18:22). Namun ini belum semuanya, di sini kita akan melihat persiapan besar-besaran dan berlimpah-ruah yang dibuat untuk menyambutnya, sebagai seorang anak di dalam keluarga itu, jauh melampaui apa yang telah dan dapat diharapkannya. Ia pasti menganggapnya sudah cukup, dan akan sangat berterima kasih, jika ayahnya mau memerhatikan dia, dan memintanya pergi ke dapur, lalu makan bersama hamba-hambanya. Tetapi apa yang diperbuat Allah terhadap orang-orang yang kembali melakukan kewajiban mereka dan menyerahkan diri pada belas kasihan-Nya, jauh melampaui apa yang dapat mereka minta atau pikirkan. Si anak hilang itu pulang dengan harap-harap cemas, takut akan ditolak dan berharap untuk diterima. Namun, ayahnya bukan saja tidak segarang seperti yang dicemaskannya, ia bahkan berbuat melebihi apa yang diharapkannya -- ayahnya tidak saja menerimanya, tetapi juga menerimanya dengan segala kehormatan.

[1] Ia pulang dengan pakaian compang-camping, tetapi ayahnya tidak hanya memberinya pakaian, bahkan juga mendandaninya. Ia berkata kepada hamba-hambanya, yang selalu mematuhi perintah tuan mereka, setelah melihat anaknya datang, "Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya." Pakaian usang yang paling jelek pun sebenarnya bisa dipakaikan kepadanya, dan ini sudah cukup baik untuknya; namun ayahnya malah tidak menyuruh mengambilkan baju, melainkan jubah, pakaian para raja dan penguasa, jubah yang terbaik teń stolēn tēn prōtēn. Ada penekanan ganda di sini: "Jubah itu, jubah yang terbaik itu, kamu tahu jubah mana yang kumaksudkan". Jubah yang pertama (begitulah kita bisa mengartikannya), jubah yang dipakainya sebelum ia pergi berpetualang. Ketika orang-orang yang menjauh dari Allah kembali bertobat dan melakukan lagi apa yang semula mereka lakukan, mereka akan diterima dan dipakaikan jubah yang pertama. "Bawalah ke mari jubah itu, dan kenakanlah padanya. Ia akan malu mengenakannya, dan berpikir bahwa jubah itu tidak pantas untuknya yang pulang dalam keadaan kotor dan kumal seperti itu. Tetapi pakaikanlah itu kepadanya, dan jangan hanya menawarkannya, dan kenakanlah cincin pada jarinya, cincin cap keluarganya, sebagai tanda bahwa ia diakui sebagai anggota keluarga." Orang kaya biasanya memakai cincin, dan dengan mengenakan cincin kepadanya, sang ayah menunjukkan bahwa meskipun anaknya sudah menghabiskan sebagian warisannya, ia berencana memberikan bagian yang lain lagi kepadanya karena pertobatannya itu. Ia pulang tanpa alas kaki, mungkin kakinya sudah melepuh setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh, dan karena itu, "Kenakanlah sepatu pada kakinya, agar ia merasa nyaman." Demikian berlimpahnya anugerah yang disediakan Allah bagi para petobat sejati.

Pertama, kebenaran Kristus adalah jubah itu, jubah yang utama itu, yang dikenakan kepada mereka. Mereka mengenakan Tuhan Yesus Kristus, dan diselubungi oleh Sang Surya kebenaran. Jubah kebenaran adalah pakaian keselamatan (Yes. 61:10). Sifat yang baru dalam diri kita adalah jubah yang terbaik, para petobat yang sejati dipakaikan jubah ini, dikuduskan seluruh jiwa raganya.

Kedua, kesungguhan Roh, yang dengannya kita dimeteraikan sampai hari penebusan, adalah cincin pada jari kita. Setelah kita percaya, kita dimeteraikan. Orang yang dikuduskan pasti didandani dan dihormati, dan juga diberi kuasa, seperti Yusuf yang diberi cincin oleh Firaun: "Kenakanlah cincin pada jarinya, untuk terus mengingatkannya akan kebaikan ayahnya, agar ia tidak pernah melupakannya".

Ketiga, pemberitaan Injil damai sejahtera adalah seperti kasut bagi kaki kita (Ef. 6:15), yang, dibandingkan dengan kisah ini, menandakan (menurut Grotius) bahwa Allah, ketika Ia menerima para petobat sejati ke dalam rahmat-Nya, memakai mereka untuk meyakinkan dan mempertobatkan orang lain melalui pemberitaan mereka, atau setidaknya melalui teladan mereka. Daud, saat diampuni, akan mengajarkan jalan-jalan Allah kepada orang-orang berdosa, dan Petrus, pada saat bertobat, akan menguatkan saudara-saudaranya. Atau, hal ini menunjukkan bahwa mereka akan terus berbahagia, dan bertekad akan tetap berjalan dalam jalan agama, seperti orang yang berjalan dengan memakai sepatu, melebihi apa yang dapat mereka lakukan apabila berjalan tanpa alas kaki.

[2] Ia pulang dengan merasa lapar, dan ayahnya tidak hanya memberinya makan, tetapi juga mengadakan pesta untuknya (ay. 23): "Ambillah anak lembu tambun itu, yang sudah diberi makan di kandangnya dan disimpan untuk saat-saat istimewa, lalu sembelihlah dia, supaya anakku bisa menikmati apa yang terbaik yang kita miliki." Daging yang sudah dingin, atau sisa-sisa makanan, sebenarnya sudah cukup untuknya. Namun, sekarang ia akan makan daging segar dan hangat, dan inilah saat yang cocok untuk menyajikan anak lembu tambun itu. Perhatikanlah, ada makanan istimewa yang disediakan Bapa kita di sorga bagi semua orang yang bangkit dan datang kepada-Nya. Kristus sendiri adalah Roti Kehidupan, daging-Nya adalah benar-benar makanan, dan darah-Nya adalah benar-benar minuman. Di dalam Dia ada pesta bagi jiwa-jiwa, pesta daging-daging tambun. Ini merupakan suatu perubahan besar bagi si anak hilang, yang sebelumnya ingin mengisi perutnya dengan ampas. Betapa manisnya persedian-persediaan yang ada dalam kovenan baru, dan kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkannya, bagi mereka yang sudah berusaha dengan sia-sia untuk mendapatkan kepuasan dari makhluk-makhluk ciptaan! Sekarang ia pun bisa membuktikan kebenaran kata-katanya sendiri, bahwa di rumah bapaku ada makanan yang berlimpah-limpah.

(4) Sukacita dan kegembiraan besar yang ditimbulkan karena kepulangannya. Anak lembu tambun yang dibawa itu tidak hanya disembelih sebagai pesta untuknya, melainkan juga sebagai perayaan besar bagi seluruh keluarganya: "Marilah kita makan dan bersukacita, sebab ini hari yang baik. Anakku ini telah mati, ketika ia pergi berpetualang, tetapi kepulangannya ini bagaikan hidup dari antara orang mati, ia menjadi hidup kembali. Kita pikir ia telah mati, karena sudah lama tidak mendengar kabar apa-apa darinya, tetapi lihatlah ia hidup. Ia telah hilang, kita sudah menyerah bahwa ia hilang, kita putus harapan tidak akan mendengar kabar darinya lagi, tetapi ia ditemukan kembali." Perhatikanlah:

[1] Pertobatan satu jiwa dari dosa kepada Allah merupakan kebangkitan jiwa itu dari kematian menuju kehidupan, ditemukannya kembali apa yang tampak telah hilang. Ini suatu perubahan yang besar, menakjubkan, dan membahagiakan. Apa yang sudah mati kini menjadi hidup kembali, yang telah hilang dari Allah dan gereja-Nya kini didapatkan kembali, yang dulu tidak berguna kini menjadi sangat berguna (Flm. 1:11). Perubahan ini seperti perubahan rupa bumi ketika datang musim semi.

[2] Pertobatan orang-orang berdosa sangatlah menyenangkan hati Allah di sorga, dan semua yang termasuk di dalam keluarga-Nya patutlah bersukacita bersama-Nya. Jika mereka yang ada di sorga bersukacita, maka mereka yang ada di bumi pun layaklah demikian. Amatilah, ayahnyalah yang pertama-tama bergembira, dan membuat semua orang lain bersukacita bersamanya. Oleh karena itu, kita haruslah senang dengan pertobatan orang-orang berdosa, karena dengan demikian rencana Allah menjadi terlaksana. Pertobatan berarti membawa kembali kepada Kristus orang-orang yang telah diberikan Allah kepada-Nya, dan di dalam merekalah Ia akan selalu dipermuliakan. Kami bersukacita karena kamu, di hadapan Allah kita, dengan pandangan yang tertuju kepada-Nya (1Tes. 3:9), dan kamulah sukacita kami di hadapan Yesus, Tuhan kita, yang adalah Kepala keluarga (1Tes. 2:19). Seluruh keluarga itu seturut dengan tuan mereka: maka mulailah mereka bersukaria. Perhatikanlah, anak-anak dan hamba-hamba Allah harus turut merasakan apa yang dirasakan-Nya.

Di sini kita melihat keluhan dan kedengkian si anak sulung, yang digambarkan untuk menegur ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dan menunjukkan kepada mereka betapa bodoh dan jahatnya ketidaksenangan mereka terhadap pertobatan dan kembalinya para pemungut cukai dan orang berdosa, dan terhadap kebaikan yang ditunjukkan Kristus kepada mereka. Ia menggambarkannya tanpa membesar-besarkan masalahnya, tetapi membiarkan mereka melihat hak-hak istimewa yang masih dimiliki si anak sulung. Orang-orang Yahudi memiliki segala hak istimewa itu (walaupun orang-orang bukan-Yahudilah yang akhirnya lebih disukai), sebab pemberitaan Injil harus dimulai dari Yerusalem. Kristus, ketika menegur para ahli Taurat dan orang Farisi karena kesalahan-kesalahan mereka, melakukannya dengan lembut, agar mereka mau bersikap baik terhadap para pemungut cukai yang malang. Namun demikian, yang digambarkan dengan si anak sulung di sini dapat kita pahami sebagai orang-orang yang sungguh-sungguh baik, yang selalu berperilaku demikian semenjak masa mudanya, dan yang tidak pernah tersesat ke jalan kehidupan yang rusak, yang boleh dikatakan tidak memerlukan pertobatan. Kepada orang-orang seperti inilah perkataan dalam bagian penutup perikop ini, anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dapat langsung diterapkan begitu saja, tetapi tidak demikianlah halnya kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Nah, mengenai si anak sulung ini, perhatikanlah: 

(1) Betapa bodoh dan marahnya dia ketika adiknya diterima kembali di rumahnya, dan betapa jijiknya dia dengan semuanya itu. Tampaknya dia sedang bekerja di ladang, di desanya, ketika adiknya datang, dan pada waktu dia pulang kegembiraan itu sudah dimulai. Ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian, entah ketika acara makan segera dimulai, atau malah setelah mereka makan dan sudah kenyang (ay. 25). Ia bertanya apa arti semuanya itu (ay. 26), dan diberi tahu bahwa adiknya sudah kembali, dan ayahnya mengadakan pesta untuk menyambutnya pulang, dan ada kegembiraan besar di sana sebab ayahnya telah mendapatkan adiknya itu kembali dengan sehat (ay. 27). Dalam bahasa aslinya hanya ada satu kata, ia mendapatnya kembali hygiainonta -- dengan sehat, baik dalam tubuh maupun pikiran. Ia mendapatkannya dalam keadaan sehat bukan hanya dalam tubuh, melainkan juga dalam pikirannya yang sudah kembali ke keadaannya yang benar dan penuh dengan rasa sesal. Ia sudah didamaikan dengan rumah ayahnya, disembuhkan dari segala sifatnya yang jahat dan tidak bermoral, sebab kalau tidak demikian maka tidak akan dikatakan di sini bahwa ia didapati dalam keadaan sehat. Nah, ini membuat si anak sulung sangat tersinggung sejadi-jadinya: maka marahlah anak sulung itu, dan ia tidak mau masuk (ay. 28), bukan hanya karena ia memang tidak mau ikut bergabung dalam kegembiraan itu, tetapi juga karena ia ingin menunjukkan ketidaksenangannya akan hal itu, dan ingin memperlihatkan kepada ayahnya bahwa seharusnya ia tidak membiarkan adiknya masuk. Hal ini menunjukkan apa yang sudah menjadi kesalahan umum:

[1] Dalam keluarga manusia. Anak yang selalu membahagiakan orangtuanya biasanya berpikir bahwa ia berhak hanya sepenuh-penuhnya untuk mendapat segala kebaikan orangtuanya. Ia cenderung bersikap terlalu keras terhadap saudara-saudaranya yang sudah melanggar peraturan, dan marah atas kebaikan orangtuanya kepada mereka.

[2] Dalam keluarga Allah. Orang yang boleh dikatakan tidak bersalah jarang betul memahami bagaimana mereka harus berbelas kasihan terhadap orang yang sungguh-sungguh bertobat. Bahasa yang digunakan orang-orang seperti itu dapat kita lihat di sini, dalam perkataan si anak sulung (ay. 29-30), dan ini ditulis sebagai peringatan bagi mereka yang oleh anugerah Allah telah dijaga dari dosa yang keji, dan dipelihara dalam jalan kebajikan dan ketenangan, agar mereka tidak berbuat dosa yang sama seperti yang diperlihatkan di sini. Marilah kita amati dosa-dosa apa itu. 

Pertama, ia bangga diri akan kebaikan dan ketaatannya sendiri. Ia bukan saja belum pernah meninggalkan rumah ayahnya, seperti yang dilakukan adiknya, tetapi juga terus melayani di situ, dan sudah lama berbuat demikian: telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa. Perhatikanlah, orang yang lebih baik daripada sesamanya terlalu sering membangga-banggakan kebaikan mereka, bahkan di hadapan Allah sendiri, seolah-olah Ia berutang kepada mereka atas segala kebaikan mereka itu. Saya cenderung berpikir bahwa si anak sulung ini sudah berlebihan ketika ia berkata dengan sombong bahwa ia belum pernah melanggar perintah bapanya, sebab jika memang demikian ia pasti tidak akan keras kepala menentang permohonan-permohonan ayahnya seperti sekarang ini. Namun demikian, kita boleh mengakui sedikit banyak kebenaran perkataannya, bahwa ia belum pernah berlaku tidak taat seperti adiknya. Oh, betapa perlunya orang-orang baik bersikap waspada terhadap kesombongan, karena kejahatan ini biasanya mulai muncul ketika kejahatan-kejahatan lain sudah diampuni! Orang-orang yang sudah lama melayani Allah, dan yang sudah dijaga dari dosa yang besar, harus banyak bersyukur dengan rendah hati dan tidak perlu membangga-banggakan apa pun.

Kedua, ia mengeluhkan ayahnya, seolah-olah ayahnya selama ini tidak berlaku baik seperti seharusnya kepadanya, yang sudah begitu taat: belum pernah bapa memberikan seekor kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Dia sedang kesal sekarang, sehingga mengeluh seperti itu. Sebenarnya seandainya dia meminta kambing kapan saja, permintaanya itu mungkin akan segera dikabulkan. Jadi kita bisa menduga bahwa sebenarnya dia tidak menginginkan seekor kambing pun. Disembelihnya anak lembu tambun itulah yang sebenarnya membuat dia jengkel dan bersungut-sungut. Apabila orang sedang emosi, pikirannya tidak menentu, tidak seperti ketika sedang dalam keadaan tenang. Ia selalu makan bersama-sama dengan ayahnya, dan sudah berkali-kali bersukaria bersama dia dan keluarganya, namun ayahnya bahkan belum pernah memberinya seekor kambing pun sebagai tanda sayang, yang bahkan tidak sebanding dengan anak lembu tambun. Perhatikanlah, orang-orang yang memandang tinggi diri mereka dan pelayanan mereka cenderung memikirkan hal-hal yang kejam atau keras mengenai perilaku tuan mereka. Mereka hampir tidak menghargai kebaikan-kebaikan tuannya. Selayaknya kita mengakui bahwa kita sama sekali tidak layak mendapatkan belas kasih yang menurut Allah pantas diberikan kepada kita, apalagi belas kasihan yang menurut-Nya tidak layak diberikan kepada kita. Karena itu, janganlah kita mengeluh. Ia ingin menyembelih seekor kambing, untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya di luar, tetapi ia sangat kesal dengan diberikannya anak lembu tambun kepada adiknya, untuk bersukacita, bukan dengan sahabat-sahabatnya di luar, melainkan dengan keluarganya di rumah. Kegembiraan anak-anak Allah haruslah dibagi dengan ayah dan seluruh keluarga, dalam persekutuan dengan Allah dan orang-orang kudus-Nya, bukan dengan teman-teman lain.

Ketiga, ia sangat jengkel terhadap adiknya, dan pikiran serta kata-katanya kasar tentang dia. Sebagian orang baik cenderung dikuasai oleh kesalahan semacam ini, bahkan mereka membiarkan diri berlama-lama di dalamnya. Mereka memandang rendah orang-orang yang tidak menjaga nama baik mereka seperti yang mereka lakukan, dan memasang muka masam dan muram terhadap mereka, sekalipun mereka ini telah benar-benar bertobat dan membaharui hidup mereka. Ini bukanlah Roh Kristus, melainkan roh orang-orang Farisi. Marilah kita perhatikan contoh-contoh kesalahan demikian.

Ia tidak mau masuk, kecuali adiknya diusir keluar. Ia tidak bisa tinggal serumah dengan adiknya sendiri, bahkan di dalam rumah ayahnya sendiri. Bahasa seperti ini biasa diucapkan oleh orang-orang Farisi (Yes. 65:5): "Menjauhlah, janganlah meraba aku, sebab aku ini lebih kudus daripada engkau" (KJV), dan: "Aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan juga seperti pemungut cukai ini" (18:11). Perhatikanlah, walaupun kita harus menghindari diri dari kalangan pendosa yang oleh mereka kita bisa tertular, kita tidak boleh malu berteman dengan para pendosa yang bertobat, yang oleh mereka kita bisa menjadi baik. Ia melihat bahwa ayahnya sudah membawanya ke dalam rumah, namun ia tidak mau masuk menemuinya. Perhatikanlah, kita memandang diri terlalu baik jika kita tidak bisa membuka hati untuk menerima orang-orang yang telah diterima Allah. Demikian pula halnya jika kita tidak mau bersahabat dan bersekutu dengan orang-orang yang kita tahu sudah diundang Allah untuk bersahabat dan bersekutu dengan-Nya.

Ia tidak mau memanggilnya adik, melainkan anak bapa, yang terdengar angkuh, dan terasa sebagai teguran bagi ayahnya, seolah-olah adiknya menjadi nakal karena dimanja olehnya: "Itulah anakmu, anak kesayanganmu." Perhatikanlah, melupakan hubungan kita dengan saudara-saudara kita, atau tidak mengakui hubungan itu, merupakan segala penyebab mengapa kita mengabaikan kewajiban kita terhadap mereka dan melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan kewajiban itu. Marilah kita memanggil saudara-saudara kita, baik saudara menurut daging maupun saudara dalam Tuhan, dengan nama yang benar. Biarlah yang kaya memanggil yang miskin saudaranya, dan biarlah yang tidak berbuat dosa memanggil para petobat demikian juga.

Ia membesar-besarkan dan menjelek-jelekkan kesalahan adiknya, berusaha memanas-manasi ayahnya supaya marah terhadap adiknya: ia anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur. Memang benar bahwa ia begitu bodoh telah menghabiskan bagian warisannya (entah bersama-sama dengan pelacur atau tidak kita tidak diberi tahu sebelumnya, mungkin ini hanyalah perkataan kakaknya yang sedang iri dan kesal), tetapi tidaklah benar bahwa ia menghabiskan seluruh harta kekayaan bapanya. Ayahnya masih mempunyai banyak harta. Nah, ini menunjukkan betapa gegabahnya kita dalam menegur saudara-saudara kita, mencari-cari kesalahan dalam segala hal, dan terlalu menjelek-jelekkan mereka. Dengan demikian, kita tidak berbuat terhadap orang lain seperti kita ingin orang lain perbuat terhadap kita, dan ini juga tidak seperti apa yang diperbuat Bapa kita di sorga terhadap kita, yang tidak menunjukkan kesalahan-kesalahan kita sampai sedemikian rupa.

Ia marah kepada adiknya karena kebaikan yang ditunjukkan ayahnya kepadanya: bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia, seolah-olah dialah anak yang berbakti. Perhatikanlah, sungguh keliru jika kita iri hati terhadap para petobat karena mereka mendapatkan anugerah Allah, dan memandang mereka dengan jahat karena Ia baik. Seperti halnya kita tidak boleh iri terhadap orang-orang yang paling berdosa karena mereka ikut menikmati pemeliharaan ilahi (janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa), begitu pula kita tidak boleh iri terhadap orang-orang yang dulu hidup sangat berdosa namun sekarang menikmati anugerah-anugerah kovenan kasih pada saat mereka bertobat. Kita tidak boleh iri terhadap mereka karena mereka menerima pengampunan, pendamaian, dan penghiburan, bahkan karunia besar yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka, yang membuat mereka sangat berkenan dan berguna. Paulus, sebelum pertobatannya, adalah anak yang hilang, yang menghabiskan harta kekayaan Bapanya di sorga dengan membawa malapetaka pada gereja. Namun demikian, setelah pertobatannya ia diberi anugerah dan kehormatan yang lebih besar dari para rasul yang lain, yang adalah anak sulung, yang telah melayani Kristus ketika Paulus menganiaya Dia, dan yang tidak pernah melanggar perintah-Nya, rasul-rasul ini tidak iri terhadap Paulus karena ia diberi berbagai penglihatan dan pewahyuan, atau peranan yang jauh lebih luas; sebaliknya, rasul-rasul justru memuliakan Allah karena dia. Ini haruslah menjadi contoh bagi kita, sebagai kebalikan dari perbuatan si anak sulung ini.

(2) Sekarang kita lihat betapa baik dan ramahnya sang ayah bersikap terhadap anak sulungnya, meskipun anaknya itu sudah berlaku masam dan muram seperti itu. Hal ini sama mengejutkannya seperti sebelumnya. Menurut saya, belas kasihan dan anugerah Allah dalam Kristus dalam perlakuan-Nya yang lemah lembut terhadap orang-orang kudus-Nya yang uring-uringan, yang di sini digambarkan dengan si anak sulung, mungkin bersinar hampir sama terangnya seperti ketika Ia menyambut orang-orang berdosa yang hilang pada saat mereka bertobat, yang di sini digambarkan dengan si anak bungsu. Para murid Kristus sendiri mempunyai banyak kelemahan, dan seperti orang lain mereka juga mudah tergoda oleh perasaan-perasaan yang serupa, namun Kristus bersabar terhadap mereka, seperti seorang pengasuh terhadap anak-anaknya (1Tes. 2:7).

 [1] Ketika ia tidak mau masuk, ayahnya keluar dan berbicara dengan dia, membujuknya dengan lembut, menasihatinya, dan mengajaknya masuk. Sebenarnya layak saja bagi sang ayah untuk berkata, "Jika dia tidak mau masuk, biarkan saja dia di luar, tutup pintu, dan suruh dia mencari tempat tinggal sendiri. Ini kan rumahku sendiri? Bukankah aku bisa berbuat sesukaku di sini? Bukankah anak lembu tambun itu milikku sendiri? Dan bukankah aku bisa berbuat sesukaku dengan anak lembu itu?" Tetapi, tidak. Sama seperti sebelumnya ia menemui si anak bungsu, demikian pula sekarang ia pergi keluar menemui si anak sulung. Ia tidak menyuruh hambanya keluar untuk berbicara baik-baik kepadanya, melainkan pergi sendiri menemuinya.

pertama, hal ini dirancang untuk menunjukkan kebaikan Allah kepada kita, betapa menakjubkannya sikap-Nya itu, yang lembut dan menyenangkan terhadap orang-orang yang luar biasa durhaka dan telah membangkitkan amarah-Nya. Ia bertanya kepada Kain: "Mengapa hatimu panas?" Ia sabar terhadap tingkah laku bangsa Israel di padang gurun (Kis. 13:18). Betapa lembutnya Allah bertanya kepada Elia, ketika ia mulai merasa gusar (1Raj. 19:4-6), dan terutama kepada Yunus, yang masalahnya sangat serupa dengan yang digambarkan di sini, sebab ia merasa kesal dengan pertobatan orang-orang Niniwe, dan belas kasihan yang ditunjukkan kepada mereka, seperti halnya si anak sulung di sini. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Layakkah engkau marah?" dan "Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe?" mirip dengan bujukan-bujukan sang ayah terhadap anak sulungnya di sini.

Kedua, hal ini berguna untuk mengajar para atasan atau orang-orang yang lebih tua agar mereka bersikap lembut terhadap bawahan mereka atau orang-orang muda, sekalipun mereka bersalah dan suka membenarkan diri sendiri, sehingga menjengkelkan kita. Dalam semuanya ini, janganlah bapa-bapa membangkitkan amarah di dalam hati anak-anak mereka, biarlah para majikan bersabar hati menghadapi ancaman-ancaman, dan biarlah semuanya bersikap lemah lembut.

[2] Ayahnya meyakinkan dia bahwa penghiburan yang diberikannya kepada adiknya tidak akan berpengaruh apa-apa atau merugikan dia (ay. 31): "Keadaanmu tidak akan bertambah buruk karenanya, dan milikmu tidak akan berkurang sedikit pun. Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku; dengan menerima dia tidaklah berarti bahwa aku menolak engkau, dan apa yang diberikan kepadanya tidaklah mengurangi apa yang hendak kuberikan kepadamu. Engkau masih berhak mendapatkan pars enitia (demikianlah hukum kita menyebutnya), dua bagian (demikianlah hukum Yahudi menyebutnya); engkaulah yang beroleh hæres ex asse (demikianlah hukum Romawi menyebutnya), segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu, dengan hak mutlak." Memang ayahnya belum pernah memberikan seekor kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya, namun ia sudah membiarkannya makan roti bersamanya setiap hari. Lebih baik berbahagia bersama Bapa kita di sorga daripada bersukacita bersama-sama teman mana pun yang kita miliki di dunia ini. Perhatikanlah,

pertama, kebahagiaan tiada taranya bagi semua anak Allah, yang terus berada dekat dengan rumah Bapa mereka, adalah bahwa mereka selalu, dan akan selalu, berada bersama-sama dengan-Nya. Mereka bersama-sama dengan Dia di dunia ini melalui iman, dan mereka juga akan bersama-sama dengan Dia di dunia yang akan datang melalui buah-buah yang mereka hasilkan, dan segala kepunyaan-Nya adalah kepunyaan mereka, sebab jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris (Rm. 8:17).

Kedua, oleh karena itu, kita tidak boleh iri terhadap orang lain karena mereka mendapatkan anugerah Allah, sebab kita tidak akan menderita kekurangan apa-apa apabila mereka ikut berbagian dalam anugerah itu. Jika kita ini orang-orang percaya yang sejati, maka segala keberadaan atau keadaan Allah, dan segala kepunyaan-Nya, adalah kepunyaan kita. Dan jika orang lain menjadi orang percaya sejati, maka segala keberadaan atau keadaan Allah, dan segala kepunyaan-Nya, adalah kepunyaan mereka juga. Sekalipun demikian, milik kita tetap tidak berkurang, seperti halnya kalau kita berjalan dalam terang dan kehangatan sinar matahari, semua orang mendapatkan keuntungan yang bisa mereka dapatkan dari matahari tanpa mengurangi apa yang bisa didapat orang lain. Keberadaan Kristus di dalam gereja sama seperti apa yang dikatakan tentang jiwa di dalam tubuh, yaitu tota in toto -- keseluruhan di dalam seluruhnya, namun juga tota in qualibet parte -- keseluruhan di dalam setiap bagiannya.

[3] Bapaknya memberikan alasan yang baik kepadanya mengapa sukacita yang mereka alami saat ini sangatlah luar biasa: Kita patut bersukacita dan bergembira (ay. 32). Bisa saja ia memaksakan wewenangnya yang ia miliki: "Kehendakkulah agar keluarga ini bersukacita dan bergembira." Stat pro ratione voluntas -- Alasanku ialah, aku menghendakinya demikian. Akan tetapi, tidaklah patut bagi orang-orang yang memiliki wewenang tertentu untuk selalu menyeru-nyerukannya dan memaksakannya pada setiap kesempatan, yang hanya akan membuatnya terkesan murahan dan pasaran. Lebih baik memberikan alasan yang meyakinkan, seperti yang diberikan sang bapak di sini: Kita patut, dan sangat pantas, bersukacita dan bergembira atas kembalinya si anak hilang, lebih daripada atas terpeliharanya si anak patuh. Sebab, walaupun terpeliharanya si anak patuh merupakan berkat yang besar bagi keluarga, namun kembalinya si anak hilang mendatangkan kesenangan yang lebih memuaskan hati. Keluarga mana saja akan jauh lebih hanyut dalam sukacita atas kebangkitan anak yang sudah mati, atau atas pulihnya si anak dari penyakit yang dianggap mematikan, daripada atas kesehatan dan kehidupan baik-baik dari anak-anak lainnya. Perhatikanlah, Allah akan dibenarkan dalam setiap firman-Nya, dan semua yang bernyawa, cepat atau lambat, akan diam di hadapan-Nya. Kita tidak mendapati sang kakak memberikan tanggapan apa pun terhadap apa yang dikatakan bapaknya, yang menunjukkan bahwa ia betul-betul puas, dan menerima kehendak bapaknya, dan berdamai penuh dengan saudaranya yang terhilang itu. Bapaknya mengingatkan dia bahwa ia adalah saudaranya: Ini adikmu. Perhatikanlah, orang baik, meskipun tidak selalu bisa menguasai diri sendiri dan menjaga perasaan dan kelakuannya, namun, dengan anugerah Allah, bisa kembali pada perasaan dan kelakuannya yang baik. Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak. Tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang terutama hendak ditegur melalui perumpamaan ini, seperti yang kita lihat, terus saja tidak mau mengasihani para pendosa dari kalangan orang-orang bukan-Yahudi. Mereka juga tidak senang dengan Injil Kristus, karena Injil diberitakan kepada orang-orang bukan-Yahudi. Amen

#semoga menamba pengetahuan

#mantapditahun2019

#Rhlilinkecil

 

Statistik Pengunjung