HAL
MENGUMPULKAN HARTA
MATIUS
6.19-24
epada Mamon."
I.
Dalam memilih harta yang kita kumpulkan. Setiap orang mempunyai satu atau lain
hal yang dijadikannya sebagai hartanya, bagiannya, tempat hatinya berada,
tempat ia mengumpulkan segala sesuatu yang dapat ia peroleh, dan yang
dijadikannya sebagai andalan untuk masa depan. Hal-hal yang baik, yang terbaik,
inilah yang dibicarakan Salomo dengan penekanan khusus (Pkh. 2:3). Inilah
sesuatu yang ingin dimiliki jiwa, yang dipandangnya sebagai hal terbaik, yang
dipercayai dan diyakininya melebihi segala sesuatu. Nah, Kristus tidak
bertujuan untuk merampas harta kita, melainkan untuk mengarahkan kita dalam
menentukan pilihan atas harta kita, dan di sini kita dapat melihat:
Peringatan
yang baik agar kita tidak menjadikan hal-hal yang tampak, yang hanya sementara,
sebagai hal yang kita anggap paling penting, dan agar kita tidak
mengandalkannya untuk memberi kita kebahagiaan. Janganlah kamu mengumpulkan
harta di bumi. Murid-murid Kristus telah meninggalkan segalanya untuk mengikut
Dia, biarlah mereka tetap berpikiran baik seperti ini. Harta adalah sesuatu
yang berlimpah, yang dengan sendirinya sangat bernilai dan berharga, atau
setidaknya menurut pendapat kita sangat berharga. Namun, harta itu juga dapat
menghalang-halangi jalan kita menuju kehidupan kekal. Nah, kita tidak boleh
mengumpulkan harta di bumi, yang berarti bahwa:
(1) Kita tidak boleh
menganggap hal-hal ini sebagai hal yang terpenting, atau yang paling berharga,
atau yang paling bermanfaat bagi diri kita.
Janganlah kita menganggapnya sebagai kemuliaan, seperti yang dilakukan
putra-putra Laban, melainkan kita harus memandang dan mengakui bahwa harta itu
tidak mempunyai kemuliaan jika dibandingkan dengan kemuliaan yang mengatasi
segala sesuatu.
(2)
Kita tidak boleh mendambakan kelimpahan dalam hal-hal ini, atau terus
mengejarnya dan memperbanyak jumlahnya, seperti yang dilakukan orang-orang
dengan hartanya, seakan-akan kita tidak pernah tahu kapan semuanya ini sudah
cukup bagi kita.
(3)
Kita tidak boleh mengandalkannya untuk masa depan kita, untuk dijadikan jaminan
dan persediaan bagi masa mendatang. Janganlah kita berkata kepada emas,
"Engkaulah perlindunganku."
(4)
Janganlah kita berpuas diri dengan hal-hal itu dan menganggapnya sebagai
satu-satunya hal yang kita perlukan dan kita inginkan. Kita harus merasa puas
dengan hanya sedikit harta untuk perjalanan hidup kita, tetapi jangan menuntut
semua harta untuk dijadikan sebagai bagian milik kita. Semuanya ini tidak boleh
dijadikan penghiburan bagi kita (Luk. 6:24), atau segala yang baik bagi kita
(Luk. 16:25). Marilah kita perhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa kita
mengumpulkan harta bukan bagi anak-cucu kita di dunia ini, melainkan bagi diri
kita sendiri di dunia yang akan datang. Semua terserah pada pilihan kita, dan
kita adalah pemahat-pemahat yang membentuk diri kita sendiri. Harta yang kita
kumpulkan bagi diri kita sendiri adalah milik kita. Kita harus memilih dengan
bijaksana, karena kita memilih untuk diri kita sendiri, karena kita sendiri yang
akan menerima apa yang kita pilih. Jika kita mengetahui dan memandang diri kita
sebagai siapa kita sebenarnya, untuk apa kita diciptakan, seberapa besar
kemampuan kita, dan berapa lama kita akan hidup, dan bahwa jiwa kita adalah
diri kita yang sesungguhnya, maka kita akan melihat betapa bodohnya
mengumpulkan harta di bumi.
Berikut
ini diberikan alasan yang baik mengapa kita tidak boleh memandang hal apa pun
di bumi sebagai harta kita, sebab harta di bumi dapat lenyap dan rusak.
(1)
Karena kerusakan dari dalam. Harta di bumi dapat dirusak ngengat dan karat.
Jika harta itu berupa pakaian mewah, ngengat akan memakannya, dan pakaian itu
akan menjadi rusak parah, dan sampai akhirnya habis, padahal kita menyangka
bahwa pakaian ini telah disimpan dengan sangat aman. Jika harta itu berupa
gandum atau bahan-bahan makanan lain, seperti yang dimiliki orang kaya yang
lumbung-lumbungnya penuh dengan gandum (Luk. 12:16-17), karat (begitulah yang
kita baca) akan merusakkannya. Brōsis -- dimakan, dimakan manusia, sebab dengan
bertambahnya harta, bertambah pula orang yang menghabiskannya (Pkh. 5:10),
dimakan tikus atau binatang kecil lain. Manna pun mengeluarkan ulat, atau
menjadi berjamur dan apak, berwarna kehitam-hitaman, atau dibuang dan
dimusnahkan. Buah-buahan pun membusuk dengan cepat. Atau, jika itu emas dan
perak, benda-benda ini pun dapat menjadi kusam. Semakin sering dipakai,
benda-benda ini akan semakin aus, dan semakin lama disimpan akan menjadi
semakin buruk (Yak. 5:2-3). Karat dan ngengat berkembang di dalam logam dan
pakaian itu sendiri. Perhatikanlah, kekayaan duniawi pada dasarnya bisa rusak
dan lapuk, serta akan hancur dengan sendirinya, dan tiba-tiba lenyap.
(2)
Karena tindak kekerasan dari luar. Pencuri membongkar serta mencurinya. Setiap
pelaku kekerasan akan mengincar rumah yang menyimpan banyak harta. Juga tidak
ada suatu hal apa pun yang dapat disimpan dengan begitu aman, sebaliknya, kita
akan menjadi kehilangan. Numquam ego fortunæ credidi, etiam si videretur pacem
agere; omnia illa quæ in me indulgentissime conferebat, pecuniam, honores,
gloriam, eo loco posui, unde posset ea, since metu meo, repetere -- Aku tidak
pernah menaruh kepercayaan pada harta, meskipun harta tampak sangat
menguntungkan; apa pun kenikmatan yang dapat diberikan oleh kelimpahannya, baik
kekayaan, kehormatan, maupun kemuliaan, aku membuang semuanya itu sehingga
meskipun harta memang masih dapat mengingatkan aku pada semuanya itu, namun
sama sekali tidak menimbulkan kegelisahan dalam diriku (Seneca Consul. ad
Helv.). Sungguh bodoh menjadikan sesuatu yang dengan begitu mudahnya dapat
dirampas dari kita sebagai harta kita.
Nasihat
yang baik, untuk mendatangkan sukacita dan kemuliaan dari dunia yang akan
datang, yaitu hal-hal yang tersembunyi dan kekal, sebagai hal yang terpenting
bagi kita, serta untuk mengandalkannya dalam memberi kita kebahagiaan.
Kumpulkanlah bagimu harta di sorga. Perhatikanlah:
(1)
Ada harta di sorga, sama pastinya seperti ada harta di bumi, dan harta yang di
sorga itu merupakan satu-satunya harta sejati, yakni segala kekayaan,
kemuliaan, dan sukacita yang ada di sebelah kanan Allah, yang akan diterima
oleh orang-orang yang benar-benar telah dikuduskan, ketika mereka datang untuk
dikuduskan dengan sempurna.
(2)
Sungguh bijaksana bila kita mengumpulkan bagi kita harta yang seperti ini, dan
dengan tekun memastikan hak kita untuk menerima hidup kekal melalui Yesus
Kristus, dan mengandalkannya sebagai kebahagiaan kita, dan memandang segala
yang ada di bawah sini dengan rasa muak yang kudus sebagai sesuatu yang tidak berharga
dibandingkan dengannya. Kita harus percaya dengan teguh bahwa kebahagiaan
semacam itu memang ada, dan kita juga harus berketetapan untuk merasa puas
dengannya, dan tidak mau puas kalau belum mendapatkannya. Jika kita
sungguh-sungguh menjadikan harta itu sebagai milik kita, dengan
mengumpulkannya, maka kita dapat memercayakannya kepada Allah untuk menjaganya
dengan aman. Oleh sebab itu, marilah kita mengarahkan semua rancangan kita dan
menujukan seluruh keinginan kita ke sana. Marilah kita mempersembahkan seluruh
upaya dan perasaan kita yang terbaik ke sana. Janganlah kita membebani diri
dengan harta dunia yang hanya akan menyusahkan dan merusakkan kita, dan sangat
dapat menenggelamkan kita, tetapi kumpulkanlah jaminan-jaminan yang baik.
Janji-janji itu merupakan alat tukar, yang dengannya orang percaya yang
sungguh-sungguh mengembalikan harta mereka ke sorga, dan yang akan dibayarkan
kembali kelak. Dengan demikian, kita membuat pasti hal-hal yang akan dibuat
pasti.
(3)
Sungguh kita dapat berbesar hati jika kita mengumpulkan harta kita di sorga,
karena di sanalah harta kita aman. Harta itu tidak akan rusak dengan
sendirinya, tidak ada ngengat dan karat yang akan merusakkannya, dan tidak akan
ada kekuatan atau kecurangan yang dapat merampasnya dari kita. Pencuri tidak
membongkar serta mencurinya. Ini adalah kebahagiaan yang melebihi dan melampaui
semua perubahan dan peluang waktu, warisan yang tidak dapat binasa.
Alasan
yang baik mengapa kita harus memilih seperti itu, dan bukti bahwa kita telah
melakukannya (ay. 21). Di mana hartamu berada, entah di bumi atau di sorga, di
situ juga hatimu berada. Itulah sebabnya kita harus berlaku benar dan bijak
dalam memilih harta kita, sebab sifat pikiran kita, dan akibatnya, tujuan hidup
kita, akan bersifat kedagingan atau rohani, duniawi atau sorgawi menuruti
pilihan kita itu. Hati mengikuti harta, sama seperti jarum mengikuti magnet,
atau bunga matahari mengikuti matahari. Di mana hartamu berada, di situlah
nilai dan harga diri berada, di situ pula cinta dan perasaan berada (Kol. 3:2).
Ke sanalah tertuju segala keinginan dan hasrat, ke situlah mengarah segala
tujuan dan maksud, dan segala sesuatu dilakukan berdasarkan pandangan akan
harta itu. Di mana hartamu berada, di situ juga perhatian dan kekhawatiran kita
berada, karena takut kehilangan harta itu. Hal itulah yang paling kita
cemaskan. Di situ jugalah harapan dan kepercayaan kita berada (Ams. 18:10-11).
Di situ segala sukacita dan kesenangan kita akan berada (Mzm. 119:111), dan di
situ juga pikiran-pikiran kita berada. Di situlah pikiran batiniah akan berada,
pikiran yang pertama, pikiran yang bebas, pikiran yang tetap, dan pikiran yang
sering timbul dan sudah dikenal. Hati adalah hak Allah (Ams. 23:26), dan agar
Ia dapat memilikinya, harta kita harus dikumpulkan bersama-Nya, sehingga
barulah jiwa kita akan terangkat kepada-Nya.
Petunjuk
tentang mengumpulkan harta ini sangat sesuai untuk diterapkan pada peringatan
sebelumnya, yaitu tentang tidak menjalankan ibadah supaya dilihat orang. Harta
kita adalah segala sedekah, doa, dan puasa kita, dan juga upah yang kita terima
untuk semua itu. Jika kita menjalankan semua ini hanya supaya dipuji manusia,
itu berarti kita mengumpulkan harta di bumi, meletakkannya pada tangan manusia,
dan tidak pernah bisa berharap akan mendengar apa-apa lagi tentangnya. Alangkah
bodohnya melakukan hal ini, sebab kehormatan manusia yang begitu kita dambakan
sangat mudah musnah, akan berkarat dalam waktu singkat, akan dimakan ngengat,
dan akan terlihat kusam. Sedikit kebodohan, seperti lalat yang mati, akan
merusakkan semuanya (Pkh. 10:1). Umpatan dan fitnah adalah pencuri yang
membongkar serta mencurinya, sehingga kita kehilangan seluruh harta perbuatan
kita. Kita berlari dan berjerih payah dengan sia-sia karena kita mempunyai niat
yang salah dalam melakukan itu semua. Ibadah-ibadah yang munafik tidak
mengumpulkan apa-apa di sorga (Yes. 58:3), upahnya lenyap ketika nyawa dicabut
(Ayb. 27:8). Tetapi jika kita berdoa, berpuasa, dan bersedekah dalam kebenaran
dan ketulusan, dengan mata yang tertuju kepada Allah dan perkenanan-Nya, dan
percaya bahwa kita berkenan kepada-Nya, maka kita telah mengumpulkan harta di
sorga. Sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya (Mal. 3:16), dan karena
tercatat di sana, perbuatan kita akan mendapat upah di sana, dan kita akan
terhibur mendapat kembali harta kita di sana, di seberang kematian dan kubur.
Orang-orang munafik tersurat namanya dalam tanah (Yer. 17:13, TL), tetapi nama
anak-anak Allah yang setia ada terdaftar di sorga (Luk. 10:20). Diterima Allah
adalah harta di sorga, yang tidak akan dapat dirusakkan ataupun dicuri.
Firman-Nya "Baik sekali perbuatanmu itu" akan berlaku selamanya. Jika
kita telah mengumpulkan harta kita bersama-Nya dengan cara demikian, hati kita
juga akan berada bersama-Nya. Di mana lagi ada tempat yang lebih baik bagi hati
kita?
II. Kita harus berjaga-jaga
terhadap kemunafikan dan pemikiran duniawi dalam memilih tujuan yang kita
ingini.
Perhatian
kita mengenai hal ini digambarkan melalui dua jenis mata yang dimiliki manusia,
yakni mata baik dan mata jahat (ay. 22-23). Ungkapan-ungkapan yang digunakan di
sini memang agak kurang jelas karena ringkas. Oleh sebab itu kita akan
melihatnya dengan menggunakan beberapa macam penafsiran. Mata adalah pelita
tubuh, itu sudah jelas. Tugas mata adalah menemukan dan menuntun. Terang dunia
tidak akan banyak gunanya tanpa pelita tubuh ini. Pelita tubuh inilah yang
menyukakan hati (Ams. 15:30), akan tetapi, apa yang dibandingkan di sini dengan
mata dalam tubuh itu?
Mata
di sini adalah hati (begitulah menurut sebagian orang), jika mata itu baik --
haplous -- bebas dan murah hati (istilah ini sering digunakan, misalnya dalam
Rm. 12:8; 2Kor. 8:2; 9:11, 13; Yak. 1:5; dan kita juga membaca tentang orang
yang baik matanya dalam Ams. 22:9, TL). Jika kita mempunyai kecondongan pada
kebaikan dan kemurahan hati, maka hati itu akan menuntun orang untuk melakukan
tindakan-tindakan Kristiani, seluruh tutur katanya akan penuh dengan terang,
penuh dengan bukti-bukti dan teladan-teladan Kekristenan sejati; dan ini semua adalah
ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita (Yak.
1:27). Itu penuh dengan terang, penuh dengan perbuatan-perbuatan baik, yang
merupakan terang kita yang bercahaya di depan orang. Namun jika hati itu jahat,
tamak, keras, iri, dengki, dan suka mendendam (sifat seperti ini sering kali
digambarkan dengan mata yang jahat, Mat. 20:15; Mrk. 7:22; Ams. 23:6-7), maka
gelaplah seluruh tubuh. Seluruh tutur katanya akan serupa dengan orang yang
tidak mengenal Allah dan tidak Kristiani. Kalau penipu, akal-akalnya selalu dan
akan selalu jahat, tetapi orang yang berbudi luhur merancang hal-hal yang luhur
(Yes. 32:5-8). Jadi, jika terang yang ada pada kita itu, yakni
perasaan-perasaan yang seharusnya memimpin kita kepada apa yang baik, menjadi gelap,
jika segala perasaan itu menjadi rusak dan duniawi, jika dalam diri seseorang
tidak ada cukup banyak sifat yang baik, tidak ada sifat-sifat yang condong ke
hal-hal yang baik, maka betapa hebatnya kerusakan dan kegelapan yang meliputi
orang itu! Pengertian seperti ini tampaknya sesuai dengan pokok persoalan dalam
perikop ini. Kita harus mengumpulkan harta di sorga dengan cara memberi sedekah
dengan murah hati, dan kita tidak boleh melakukannya dengan menggerutu,
melainkan dengan senang hati (Luk. 12:33; 2Kor. 9:7). Namun perkataan tentang
mata yang juga terdapat dalam bacaan lain yang serupa ini tidak disampaikan
dalam pengertian seperti itu (Luk. 11:34), dan oleh sebab itu, keterkaitannya
dengan pengertian tersebut di sini sama sekali tidak dimaksudkan bahwa inilah
satu-satunya pengertian yang benar dari perkataan tentang mata dalam perikop
lain tersebut.
Mata
di sini adalah pengertian (begitulah menurut sebagian orang). Mata menilai
segala perbuatan nyata, dan berfungsi sebagai hati nurani. Fungsinya bagi
indra-indra kejiwaan lain sama seperti fungsi mata bagi tubuh, yang membimbing
dan mengarahkan gerak-gerik anggota tubuh yang lain. Jika mata itu baik, jika
mata itu membuat penilaian yang baik dan benar, dan sanggup membedakan hal-hal
yang berlainan, terutama dalam hal memilih untuk mengumpulkan harta yang benar,
maka mata ini akan menuntun segala perasaan dan tindakan dengan benar, sehingga
semuanya ini akan penuh dengan terang anugerah dan penghiburan. Tetapi jika
mata itu jahat dan rusak, maka bukannya menuntun orang-orang yang lemah, mata
itu malah justru akan memimpin, memenuhi dan mencondongkan mereka ke arah yang
jahat. Jika mata itu keliru dan mendapat masukan yang salah, hati dan kehidupan
pasti akan penuh dengan kegelapan, dan seluruh tutur kata pun akan menjadi
rusak. Orang yang tidak mengerti dikatakan berjalan dalam kegelapan (Mzm.
82:5). Betapa menyedihkan bila roh manusia, yang seharusnya adalah pelita
TUHAN, ternyata adalah ignis fatuus: ketika orang-orang yang mengendalikan
bangsa, yang mengendalikan segala indra, menjadi penyesat, maka pada saat
itulah orang-orang yang dikendalikan mereka menjadi kacau (Yes. 9:15).
Kesalahan dalam membuat penilaian terhadap segala perbuatan mendatangkan
malapetaka, membuat orang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat
(Yes. 5:20). Oleh sebab itu, kita harus memahami segala sesuatu dengan benar,
dan memiliki mata yang diurapi.
Mata
di sini adalah tujuan dan maksud. Dengan mata kita menentukan tujuan akhir yang
hendak kita capai, titik yang hendak kita bidik, dan tempat yang hendak kita
datangi. Kita terus memandangnya dan mengarahkan segenap langkah kita sesuai
tujuan tersebut. Dalam segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan beragama,
ada satu dan lain hal yang terdapat dalam mata kita. Nah, jika mata kita baik,
jika kita berniat tulus, menetapkan tujuan-tujuan yang benar, dan melangkah
dengan benar ke arah tujuan, jika kita bermaksud hanya dan murni demi kemuliaan
Allah, mencari kehormatan dan perkenanan-Nya semata, dan mengarahkan segala
sesuatu kepada-Nya, maka mata kita baik. Mata Paulus itu demikianlah adanya,
seperti perkataannya, "Karena bagiku hidup adalah Kristus." Jika kita
juga benar dalam hal ini, maka teranglah seluruh tubuh kita. Seluruh tindakan
kita akan teratur dan mulia, menyenangkan hati Allah dan menghibur bagi diri
kita sendiri. Tetapi jika mata itu jahat, tidak memuliakan Allah dan mencari
perkenanan-Nya, dan hanya mencari puji-pujian manusia, bukannya menghormati
Allah tetapi mencari kehormatan diri sendiri, mencari kepentingan sendiri
dengan dalih mencari perkara-perkara Kristus, maka semuanya ini akan merusakkan
segalanya. Seluruh tutur kata kita akan menjadi jahat dan mudah goyah, dan
karena dasar kita dibangun dengan cara demikian, maka segala arah kita juga
akan hanya menuju kepada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tariklah
garis dari keliling lingkaran ke semua arah kecuali pusatnya, maka garis-garis
itu akan saling menyilang. Jika terang yang ada padamu itu bukan saja redup,
tetapi juga gelap, maka ini merupakan kesalahan yang mendasar dan akan merusak
semua hal yang mengikutinya. Tujuan menentukan tindakan. Salah satu hal yang
teramat penting dalam kehidupan beragama adalah bahwa kita harus memastikan
kalau tujuan-tujuan kita benar, dan menjadikan perkara-perkara yang kekal,
bukan yang sementara, sebagai ruang lingkup perhatian kita (2Kor. 4:18). Orang
munafik itu seperti nelayan, ia menengok ke arah yang satu dan mendayung ke
arah yang lain; sedangkan orang Kristen sejati itu seperti pelancong, ia
memusatkan pandangannya pada tujuan akhir perjalanannya. Orang munafik
membubung tinggi seperti burung elang, yang memusatkan pandangannya pada mangsa
di bawah, dan siap menukik ke arah mangsanya jika ada kesempatan yang baik.
Orang Kristen sejati membubung tinggi seperti burung murai, yang terbang kian
lama kian tinggi, dan melupakan semua yang ada di bawah.
III. Kita harus
berjaga-jaga terhadap kemunafikan dan pemikiran duniawi dalam memilih tuan yang
ingin kita abdi (ay. 24).
Tak
seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Mengabdi kepada dua tuan
bertentangan dengan memiliki mata yang baik, sebab mata itu akan memandang
tangan tuannya (Mzm. 123:1-2). Yesus Tuhan kita di sini membeberkan kebohongan
yang diperbuat orang terhadap jiwa mereka sendiri, dengan menyangka bahwa
mereka bisa membagi antara Allah dan dunia, dengan memiliki harta di bumi dan
juga harta di sorga, dengan menyenangkan hati Allah dan sekaligus juga hati
manusia. "Mengapa tidak?" kata si munafik, "bukankah baik
mempunyai dua tali pada satu busur?" Mereka berharap agar agama mereka
dapat digunakan untuk melayani kepentingan duniawi mereka, sehingga dengan
demikian mereka dapat menangani keduanya. Ibu yang palsu setuju apabila bayi
yang sedang diperebutkan dibagi dua. Orang Samaria mencampuradukkan Allah
dengan berhala. "Tidak," kata Kristus, "ini tidak benar, ini
hanyalah anggapan bahwa ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan" (1Tim.
6:5). Berikut ini kita melihat:
Pepatah
umum yang disampaikan Kristus. Mungkin ini pepatah yang umum di kalangan orang
Yahudi. Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan, apalagi dua ilah, sebab
perintah-perintah mereka pada satu atau lain waktu akan saling berlawanan dan
bertentangan, dan kepentingan-kepentingan mereka akan saling bertabrakan.
Apabila dua tuan pergi bersama, si hamba dapat mengikuti keduanya. Tetapi
apabila mereka berpisah, akan tampak siapa yang dilayani hamba itu. Dia tidak
dapat mengasihi, memerhatikan, dan terus mengikuti keduanya sebagaimana
seharusnya. Jika ia memilih yang satu, maka ia tidak memilih yang lain. Entah
yang satu atau yang lain harus dibenci dan dipandang rendah. Kebenaran ini
sudah cukup jelas dalam perkara-perkara yang biasa terjadi.
Penerapannya
pada masalah yang sedang dihadapi. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan
kepada Mamon. Mamon adalah sebuah kata bahasa Aram yang berarti keuntungan.
Jadi, apa pun di dunia ini yang merupakan, atau yang kita anggap sebagai,
keuntungan (Flp. 3:7) adalah Mamon. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu
keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup adalah Mamon. Bagi
sebagian orang, perut mereka adalah Mamon, dan mereka mengabdi kepadanya (Flp.
3:19). Bagi sebagian yang lain, kenyamanan mereka, tidur mereka, olahraga dan
waktu luang mereka adalah Mamon bagi mereka (Ams. 6:9). Bagi yang lain,
kekayaan duniawi (Yak. 4:13), dan bagi yang lain lagi, kehormatan dan kedudukan
tinggi. Pujian dan penghormatan dari manusia merupakan Mamon bagi orang-orang
Farisi. Singkatnya, diri sendiri, yang merupakan pusat kesatuan dari tritunggal
duniawi, yakni diri yang penuh dengan hawa nafsu dan kepentingan duniawi,
adalah Mamon yang tidak dapat dilayani bersamaan dengan Allah. Sebab, jika
dilayani, ia akan bersaing dengan-Nya dan akan bertentangan melawan-Nya.
Kristus tidak berkata bahwa kita tidak boleh atau sebaiknya kita tidak,
melainkan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Kita
tidak dapat mengasihi keduanya (1Yoh. 2:15; Yak. 4:4) atau berpegangan pada
keduanya, atau dipegang oleh keduanya dalam ketaatan, kepatuhan, pengabdian,
kepercayaan, dan kebergantungan, sebab mereka bertentangan satu sama lain.
Allah berkata, "Anak-Ku, berikan hatimu kepada-Ku." Mamon berkata,
"Tidak, berikan hatimu kepadaku." Allah berkata, "Cukupkanlah
dirimu dengan apa yang ada padamu." Mamon berkata, "Raihlah sebanyak
mungkin yang kamu bisa. Rem, rem, quocunque modo rem -- Uang, uang, dengan cara
halal ataupun haram, pokoknya uang." Allah berkata, "Janganlah
menipu, jangan pernah berdusta, berlakulah jujur dan adil dalam semua
urusanmu." Mamon berkata, "Tipulah ayahmu sendiri kalau itu dapat
menguntungkanmu." Allah berkata, "Bermurah hatilah." Mamon
berkata, "Pertahankanlah hartamu, memberi hanya merugikan kita
semua." Allah berkata, "Janganlah kamu kuatir tentang apa pun
juga." Mamon berkata, "Khawatirkan segala perkara." Allah
berkata, "Kuduskanlah hari Sabat." Mamon berkata, "Manfaatkanlah
hari itu seperti hari-hari lain untuk kepentingan dunia." Betapa
berbedanya perintah-perintah Allah dari perintah-perintah Mamon, sehingga kita
tidak dapat mengabdi kepada keduanya. Oleh sebab itu, janganlah kita ragu
memilih antara Allah dan Baal, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan
beribadah, dan patuhilah siapa yang kita pilih. Amin
========TERPUJILAH TUHAN==========