Masyarakat Orang Asli di Papua Dijadikan Sebagai Warga Negara Kelas II,
===========================
Dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia, pada 10 Desember 2020, pada hari ini, saya sebagai seorang Pembela Hak Asasi Manusia, hendak menyampaikan sikap terkait situasi Hak Asasi Manusia di Papua, perlu ketahui bahwa situasi dan kondisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia diakhir-ahir ini sudah semakin buruk dan meningkat terhadap pembunuhan dan penembakan terhadap warga masyarakat sipil di Papua Barat.
Saat ini masyarakat sipil menjadi target, karena Aparat TNI dan Polri tidak pernah menemukan kelompok OPM/TPNPB Kabupaten Nduga dan Intan Jaya Provinsi Papua, karena target operasi penegakan hukum tidak dapat berhasil, sehingga masyarakat sipil menjadi target bagi pasukan TNI dan Polri, untuk menghilangkan nyawa mereka, nota bena masyarakat yang tidak punya senjata mengalami korban sia-sia di atas tanah dan leluhur mereka.
Masyarakat sipil dari kedua Kabupaten Nduga, Puncak dan Intan Jaya, merasa tidak rasa aman dan tenang, untuk beraktivitas, sehari-hari dengan bebas di kampung mereka, sekalipun disana adalah kampung dan halaman mereka.
Setelah terjadi peristiwa pembantaian terhadap karyawan PT Istaka Karya pada tanggal 2 Desember 2018, di gunung Kabo Kabupaten Nduga, beberapa bulan kemudian terjadi pembunuhan terhadap beberapa abang oyek di Intan Jaya, dan terjadi penembakan terhadap beberapa anggota TNI dibeberapa tempat di daerah Pegunungan termasuk Intan Jaya.
Setelah kejadian beberapa Kabupaten di Papua dan kemudian ada kebijakan dari Pemerintah Pusat drop pasukan Non Organik di beberapa tempat Kabupaten Nduga, Kabupaten Timika, dan Kabupaten Intan Jaya, dengan tujuan melakukan operasi penegakan hukum. Daerah-daerah tersebut ditargetkan terjadi operasi Militer.
OPERASI PENEGAKAN HUKUM YANG KELIRU
Negara kita adalah Negara hukum, dan hukum merupakan sebagai penglima tertinggi di Negara Rebuplik Indonesia. Oleh karena itu siapapun yang melanggar hukum wajib taat pada hukum itu sendiri dan bagi mereka yang melanggar hukum memang wajib untuk di proses sesuai hukum yang berlaku di Negara Rebuplik Indonesia. Dengan jujur saya mau sampaikan terkait dengan stekmen beberapa petinggi terhadap Operasi Penegakan Hukum di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Timika adalah sesuatu hal yang keliru. Karena fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan Hak Asasi Manusia dalam rangka itu Kepolisian diberikan wewenang, oleh Undang-undang sebagai penyilidikan dilakukan sebagai upaya proses menetapkan siapa pelaku yang melanggar hak-hak Asasi tersangka, namun menjamin hak-hak Asasi tersangka oleh penyidik dapat dibenarkan dalam Undang-undang (KUHAP). Namun demikian tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya dalam sehari-hari polri melakukan upaya, justru melanggar rambu-rambu yang digariskan oleh undang-undang.
Pelaksanaan tugas Kepolisian yang sesungguhnya diberikan undang-undang dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia sebaliknya justru melanggar ham lainya. Fungsi dan kewenangan POLRI ada beberapa tahapan baik dalam tahap penyelidikan, berupa mencari keterangan dan alat bukti. Negara Indonesia adalah negara hukum yang berarti tindakan harus berdasarkan norma hukum yang berlaku dan bersumber pada UUD 1945.
Fungi Penegahkan hukum dalam undang-undang sangat jelas, Oleh karena itu disini saya mau sampaikan bahwa, petinggi Negara Indonesia yang mana selalu mengatakan Operasi Kabupaten Nduga dan Intan Jaya adalah Operasi Penegahkan Hukum adalah sesuatu hal yang keliru karena undang-undang KUHAP sangat jelas.
Sehingga menurut saya penegakan hukum bukan tugas TNI Tentara Nasional Indonesia, sehingga seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nduga dan Intan Jaya layak disebut “ OPERASI MILITER “bukan penegahkan hukum. Kalau penegakan hukum mengapa pemerintah Pusat Drop pasukan militer yang sangat berlebihan di Papua Barat.
MASYARAKAT ORANG ASLI PAPUA DIANGGAP
WARGA NEGARA KELAS II
Pangdangan Pemerintah Negara Republik Indonesia, terhadap masyarakat Papua adalah warga Negara Kelas II, sehingga masyarakat Papua yang selalu mengalami korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Pemerinta Pusat tidak pernah mau seriusi menyelesaikan dengan baik secara bermartabat.
Sedangkan kami ketahui bahwa Masyarakat Orang Asli Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia yang layak di hargai sebagai warga negara, padahal Pemerintah Indonesia selalu menyampaikan dalam berita di media masa dan elektronik bahwa Papua adalah bagian yang tak dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia selalu menyampaikan Papua tak dipisahkan bagian dari NKRI, mungkin ungkapan itu hanya dari mulut bukan dari hati yang mendalam, kalu ungkapan itu dari hati yang mendalam maka masyarakat orang asli Papua perlu di hargai dan dihormati serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian sebagai warga negara. Tetapi selama ini masyarakat orang asli Papua tidak bisa dihargai sebagai warga Negara, mereka selalu dianggap sebagai SEPARATIS, MAKAR, OPM, TIKUS-TIKUS HUTAN, dan MONYET. Akhirnya masyarakat Papua selalu menganggap, kami bukan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga masyarakat sipil di Papua selalu berbeda pandangan dengan pemerintah pusat, terkait seluruh kebijakan yang diterapkan pemerintah Pusat terhadap masyarakat Papua Barat.
Sebagai pembela Hak Asasi Manusia selalu heran bahwa masyarakat Papua selalu dicap sebagai OPM, Separatis, Monyet, Tikus-tikus Hutan, apalagi Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfut MD, telah menyatakan di media bahwa korban-korban pelanggaran HAK ASASI MANUSIA di Papua adalah sampah-sampah.
Pernyataan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanan sangat menyakiti hati keluarga korban Pelanggara Hak Asasi Manusia dan pada umumnya bagi masyarakat Orang Asli Papua, yang merupakan sebagai warga Negara Rebuplik Indonesia, dan pernyataan itu menjadi dasar pemikiran Pemerintah Pusat, sehingga warga masyarakat Orang Asli Papua yang selalu mengalami korban kekerasan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tidak pernah mau merespon dengan serius untuk menyelesaikan dan memberikan pentingnya rasa Keadilan kepada Keluarga korban sebagai Warga Negaranya.
Orang Asli Papua dijadikan sebagai warga kelas II sehingga selalu mengalami korban kekerasan, korban diskriminasi Hukum, korban, Rasisme, Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Korban Ekonomi, Korban Kesehatan, Korban pendidikan, dan lain-lain namun pemerintah Pusat hanya memili berdian.
KEADILAN DAN PENEGAKAN HAM, SULIT
DI WUJUDKAN DI TANAH PAPUA
Seluruh korban pelanggaran Hak Asasi Manusia diseluruh dunia, sangat membutuhkan Keadilan dalam proses penegahkan hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk juga warga Negara Rebuplik Indonesia. Keadilan dibutuhkan oleh semua orang di dunia sekalipun kelompok yang tidak diperhitungkan oleh Negara. Masyarakat Orang Asli Papua juga membutuhkan Keadilan sekalipun dianggap Warna Negara Kelas II. Namun Keadilan dalam proses penegakan Hak Asasi Manusia di Papua sangat sulit untuk dipraktekan, sehingga keadilan selalu terpungkam.
Kita punya pengalaman dengan beberapa kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti kasus Wamena Tahun 2003, Kasus Wasior dan Kasus Paniai, cukup memakan waktu yang lama, sekalipun Kasus-kasus tersebut telah ditangani oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan telah diajukan ke Kejaksaan tinggi namun masih tersendat di jalan.
Kini sampai hari ini Pemerintah Pusat tidak pernah ingin seriusi menyelesaikan kasus-kasus yang dimaksud, untuk memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat sipil di Papua sebagai Warga Negara, sehingga sampai hari ini keluarga korban, dan masyarakat sipil Papua, masih tergantung dan menunggu keadilan dan mengungkapkan kebenaran.
Masyarakat Papua Sebagai warga Negara, punya hak mendapatkan keadilan di depan hukum tanpa diskriminasi kelompok manapun, namun tidak pernah memberikan rasa keadilan sebagai warga Negara.
LAPORAN INTELIJEN DAN ANGGOTA TNI/POLRI TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA DILAPANGAN
Laporan Intelijen TNI/POLRI di Papua yang sering disampaikan kepada Pemerintah Pusat terkait dengan penembakan dan situasi kekerasan dilapangan, kadang tidak sesuai dengan Fakta dan data dilapangan.
Penembakan terhadap warga masyarakat sipil dilakukan oleh aparat TNI/POLRI, lalu menuduh kepada kelompok OPM, kadang TNI/POLRI menghindar dari peristiwa penembakan, tetapi juga sering OPM membantah setiap peristiwa, bahwa kami bukan pelaku pelaku adalah TNI/POLRI sehingga mereka yang harus bertanggung. itulah kondisi dilapangan.
Kalau kita mulai pelajari Kasus penembakan dua Anggota TNI Raider 751 di Distrik Mapenduma pada tanggal 28 Januari 2019, dan kemudian anggota yang bertugas di Mapenduma melaporkan kepada pimpinannya, bahwa anggota yang melakukan pengamanan pada saat itu sekitar 10 orang.
Sedangkan yang saya tau dan lihat dipangan anggota hanya 5 orang saja, mereka hanya mengunakan sental, baju kaos, trening, sepatu lumpur, menurut saya anggota melakukan pengamanan saat itu tidak sesuai dengan SOP standar operasi militer
Pengalaman yang lain penembakan terhadap Pdt. Jeremia Sanambani, di Kabupaten Intan Jaya laporan yang disampaikan anggota TNI dari lapangan kepada pimpinan dan pemerintah pusat bahwa Pdt. tersebut ditembak oleh anggota Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) untuk minta perhatian dari PBB, karena sidang sedang berlangsung.
Setelah kasus penembakan ditelusurih oleh beberapa Tim yang dibentuk oleh Menkopolhukam, KOMNAS HAM JAKARTA, tim Kemanusiaan di Papua, ternyata pelaku bukan OPM, dalam laporan yang disampaikan oleh bebera TIM bahwa pelaku pembunuhan Pdt.Yermia Sanambani adalah Anggota Militer ( TNI ). Anggota yang pernah di kasih makan dan minum di rumahnya.
Dirinya sebagai pembela ham selalu heran, sebenarnya anggota TNI mestinya telah dan sudah memiliki 8 Wajib TNI, dan setiap anggota TNI Wajib tunduk pada 8 Wajib Tentara Nasional Indonesia antara lain
Bersikap ramah tama terhadap rayat
Bersikap sopan santun terhadap rayat
Menjunjung tinggi kehormatan Wanita
Menjaga kehormatan diri dimuka umum
Senantiasa menjadi Contoh dalam sikap dan kesedhanaan
Tidak sekali-kali merugikan rayat
Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rayat
Menjadi Contoh dan memelapori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rayat sekelilingnya
Namun saya melihat kondisi dilapangan tidak seperti 8 wajib yang di jelaskan di atas tetapi kadang dilapangan selalu terjadi kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat tertentu.
Sebenarnya menurut saya kalau anggota TNI kalau telah memiliki 8 wajib anggota TNI, seharusnya melakukan tindakan yang terukur prosedur dan professional, artinya melihat masyarakat di lapangan, anggota bisa melakukan tindakan yang protap apa bila menemukan masyarakat yang hendak membawah senjata atau pistol dengan tujuan melawan anggota TNI/POLRI.
TNI DAN POLRI GAGAL MELAKUKAN PENEGAHKAN HUKUM
Setelah kejadian pembantaian terhadap 17 Karyawan PT Istaka Karya, pada tanggal 2 Desember 2018, di gunung Kabo berbatasan antara Distrik Dal dan Distrik Yigi, yang dilakukan di bawah pimpinan Egianus Kogeya dan kawan-kawannya, dan sejak itu terjadi operasi penegakan Hukum terhadap pelaku pembantaian yang dimaksud.
Operasi penegakan hukum yang dilakukan aparat Gabungan tidak membuahkan hasil justru mengalami kegagalan dalam proses penegakan hukum, ini artinya bahwa rencana penangkapan terhadap Egianus dan kawan-kawannya, gagal hingga sampai kita memasuki hampir dua tahun.
Dalam operasi yang dimaksud justru memakan korban jiwa terhadap masyarakat sipil maupun TNI/POLRI, kini sampai sekarang korban masih terus bertambah. Kegagalan ini seharusnya perlu diakui oleh pihak TNI dan Polri, dalam penegakan hukum. Karena gagal dalam penegahkan hukum, dan dari kegagalan itu sehingga masyarakat menjadi target aparat TNI dan POLRI, sehingga selalu menembak warga masyarakat sipil, yang sama sekali tidak punya senjata.
Kini sampai hari ini situasi dan kondisi di Kabupaten Nduga dan Kabupaten Intan Jaya sangat diperihatinkan, masyarakat sipil mengalami kematian di hujung senjata mereka selalu mengalami rasa takut dan trauma hidup mereka tidak tenang seperti biasanya. Mereka semua mengungsi ke hutan, sebagai warga negara yang punya hak rasa aman telah merasa kehilangan, karena tidak ada jaminan bagi masyarakat.
PENDEKATAN MILITER TAK AKAN SELESAIKAN
MASALAH PAPUA
Perlu ketahui bahwa pendekatan militer persoalan di Papua tidak akan berakhir dan tidak ada solusi penyelesaian justru akan memakan korban jiwa, kita ketahui bahwa Operasi yang sedang dilakukan aparat militer dan Polisi mengalami banyak korban jiwa, dari warga masyarakat sipil dan juga pihak aparat TNI/Polri.
Setelah terjadi operasi militer di Kabupaten Nduga masyarakat sipil meninggal sekitar 263 jiwa dengan cara yang berbeda-beda, ada yang ditembak, ada yang meninggal di hutan pada saat pengungsian karena lapar, ada yang meninggal saat melahirkan, ada yang meninggal karena sakit dan lapar dipengungsian. Dan meninggal dengan sia-sia, dampak dari operasi miltier.
Belakangan ini kita ketahui bahwa Pendeta Sanambani ditembak oleh anggota Tentara Nasional Indonesia, sedangkan awalnya TNI dapat menjelaskan di media massa bahwa pdt. tersebut ditembak oleh Anggota OPM Organisasi Papua Merdeka.
Kemudian disusul dengan penembahkan 4 Warga sipil dan ASN di Kabupaten Intan Jaya, mereka yang ditembak membabi buta itu sebenarnya bukan kelompok yang di dugakan seperti OPM/TPNPB tetapi mereka adalah masyarakat sipil.
Persoalan kekerasan yang berdampak pelanggaran ham di Papua, masyarakat sipil korban jauh lebih banyak dari pada kelompok Organisasi Papua Merdeka, sedangkan kita mengetahui bahwa operasi penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat Militer dan Polisi hanya kepada Organisasi Papua merdeka atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat ( TPNPB ). Karena dianggap melakukan tindakan criminal.
Saya pernah bertemu dengan beberapa anggota intelijen lalu sampaikan dalam diskusi bahwa persoalan Papua, sangat Rumit ini persoalan Ideologi, bukan persoalan makan dan minum, sehingga korban di Papua akan terus bertambah dan memakan korban jiwa akhirnya masalah Papua tidak pernah akan berakhir. Kecuali Pemerintah Indonesia dan Kelompok Papua Merdeka, masing-masing membuka diri dan menyatakan siap untuk berdialog, karena kedua belah pihak tidak siap menyatakan diri untuk berdialog maka kekerasn pertumbahan darah akan terus terjadi di tanah Papua.
Menurut saya dialog tidak pernah membunuh siapapapun diantara sesame atau dari kelompok manapun, intinya kedua belah pihak masing-masing menyatakan siap dan buka diri untuk berdialog, bagi saya soal kalah dan menang itu urusan kedua tetapi kedua belah pihak menyatakan siap duduk bersama-sama untuk mengakhiri kekerasan pertumbahan darah di Papua.
KRISIS KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA
PEMERINTAH PUSAT
Membagun hubungan kepercayaan rayat kepada pemerintah sangat penting atau termasuk membangun kepercayaan hubungan dengan siapa saja di dunia ini, sangat sederhana saya selalu samapaikan kepada keluarga saya dan bahwa jangan sekali-kali menjanjikan kepada orang lain sebenarnya sesuatu yang tidak pasti, karena janji itu akan berutang dan kami akan terus di tagi karena sudah pernah berjanji kepada orang.
Kita perlu ketahui krisis kepercayaan masyarakat papua kepada pemerintah pusat, sudah tidak bisa percaya lagi, ibaratnya seperti apa yang saya dapat menjelaskan pada aline pertama di atas, saya ketahui bahwa Presiden Rebuplik Indonesia, telah berjani kepada pimpinan Gereja terkait Kasus Paniai yang menewaskan 6 orang pada tanggal 8 Desember 2014. bahwa persoalan yang dimaksud akan diselesaikan dalam waktu yang dekat, namun kini sampai hari ini belum tuntas.
Janji yang disampaikan oleh orang Nomor satu di Indonesia itu, kini sampai hari ini tidak pernah terwujud hingga sampai memakan waktu sekitar 7 tahun. Pada akhirnya krisis kepercayaan masyarakat Papua dan Keluarga korban tidak bisa terbangun dengan baik dan tidak percaya lagi kepada Pemerintah Indonesia.
Krisis kepercayaan yang berikut adalah kementerian luar Negeri dan depolmat Indonesia yang selalu melakukan pembohongan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bahwa Kasus Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua tidak ada. Kami selalu melakukan penegakan Hak Asasi Manusia di sana.
Saya sebagai pembela ham selalu heran karena sudah beberapa kali dalam sidang Perserikatan Bangsa-bangsa Deplomat yang di wakili Pemerintah Indonesia berturut-turut mengatakan hal itu, kepada beberapa negara yang ikut hadir mengambil bagian dalam sidang di PBB, sedangkan kami ketahui bahwa kekerasan dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua masih sedang berlangsung sampai hari ini.
Janji-janji belaka yang saya dapat menjelaskan di atas bagi masyarakat Papua selalu menganggap itu hal yang biasa bagi Pemerintah Indonesia, tetapi krisis kepercayaan masyarakat Papua dan keluarga korban terhadap pemerintah pusat, tidak bisa percaya, dalam bentuk kebijakan apapun di Papua.
PEMERINTAH INDONESIA PERLU BUKA DIRI
Pandangan Indonesia terhadap Pelanggaran ham di Papua
Pandangan pemerintah Indonesia terhadap Pelanggaran HAM di Papua, tidak pernah terjadi, pandangan itu disampaikan kepada setiap pertemuan dengan beberapa Negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk membuktikan dugaan pelanggaran ham yang tidak ada, saya harap Pemerintah Indonesia membuka diri dan mengijinkan kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) untuk masuk ke Papua Barat, melihat dan melakukan pemantauan langsung terhadap situasi dan kondisi dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua.
Pandangan Masyarakat Orang Asli Papua, terhadap pelanggaran ham di Papua
Pandangan Masyarakat orang asli Papua dan bagi Keluarga Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia, bahwa situasi dan Kondisi pelanggaran hak Asasi Manusia di Papua meningkat dan semakin buruk. Karena setiap saat ada korban yang ditembak dengan cara yang tidak manusiawi.
Masyarakat orang Asli Papua juga selalu mengalami Rasisme, mereka juga selalu dibatasi hak-hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan bebas.
Kedua pandangan yang berbeda di atas, perlu ada orang independen yang bisa dapat menjelaskan kebenaran, oleh sebab itu Presiden Republik Indonesia untuk mengijinkan atau mengundang kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan pementauan terhadap situasi dan kondisi sebenarnya di Papua Barat. Sehingga yang selama ini yang bermain dengan isu-isu yang tidak benar dapat dibuktikan oleh orang-orang yang Independen.
Saya mengutip surat terbuka Dr. Socratez Yoman kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada 9 Desember 2020, ada tragedi kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi dalam era Otonomi Khusus Papua 2001 yang mendesak dan perlu diselesaikan oleh pemerintah Indonesia bukan dengan 7 Langkah. Kekerasan Negara yang dicatat sebagai berikut:
Pada 23 November 2020 di Puncak Ilaga, di perbatasan Limbaga-GayKunume, Ilaga-Puncak, tiga warga sipil tewas ditembak TNI, masing-masing bernama
(1) Akis Alom (laki-laki 34), Status PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) bendahara Pada Dinas Pertanian Kabupaten Puncak Ilaga. (2) Les Morip, (laki-laki 19), Status Masih Pelajar di SMK Gome Kelas III/3 di Gome Kabupaten Puncak Ilaga. 3. Wenis Murib, (laki-laki 13), Pelajar di SD YPPK Mundirok Kelas 6 di Distrik Gome Kabupaten Puncak Ilaga.
Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang tewas ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat Pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan. Anggota TNI yang membak mati Pendeta Yeremia bernama Alpius Hasim Madi.
Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.
Anggota TNI menewaskan dua orang Pewarta/Pastor RUPINUS TIGAU ditembak pada 26 Oktober 2020 di Jalai, Intan Jaya dan AGUSTINUS DUWITAU ditembak tgl 27 Oktober 2020 di Bilogai, Intan Jaya.
Pada 18 Juli 2020 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Pada 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.
Dalam operasi militer di Nduga, TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).
Pada Rabu, 28 September 2020 aparat keamanan TNI menewaskan dua warga sipil di distrik Bulmu-Yalma, kabupaten Nduga, Papua. Warga sipil yang tewas di tangan TNI, yaitu: Tepania Gwijangge (44 tahun) dan Anle Gwijangge (28 tuhun), dan
jenazah mereka dibakar di dalam rumah dan tulang-tulang mereka dibuang di kali oleh pasukan TNI yang bertugas di Pos Mbua-Dal.
Tragedi Wamena berdarah, 6 Oktober 2000 dan penembakan Yustinus Murip dam 8 orang pada 4 April 2003 di Yeleka-Wamena; Tragedi Biak Berdarah, 6 Juli 1998; Abepura Berdarah, 7 Desember 2000; Wasior Berdarah, 13 Juni 2001; Pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan penghilangan paksa Aristoteles Masoka, 10 November 2001; Abepura, 16 Maret 2006; Penembakan Opinus Tabuni, 9 Agustus 2008; Penembakan Yawan Yaweni di Serui, 2009; (8) Penembakan Mako Tabuni, 14 Juni 2012.
Kelly Kwalik tewas ditangan TNI-Densus 88 dan Polri pada 16 Desember 2009. Alasan penembakan Kelly Kwalik melakukan kekerasan di Tambang Tembagapura, Freeport. Setelah Kelly Kwalik tewas ditangan para kriminal TNI-Polri dan Densus 88, kekerasan di areal Tambang emas tidak pernah berhenti.
Ada kekejaman Negara terbukti 4 siswa di Paniai yang tewas ditembak Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 8 Desember 2014. Nama-nama siswa yang tewas di tangan TNI: Simon Degey (17), Apinus Gobay (16), Alfius Youw (18) dan Yulianus Yeimo (17). Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi sampai sekarang kasus penembakan itu belum diselesaikan.
Kasus Tolikara, Jumat, 17 Juli 2015 sebanyak 11 orang ditembak aparat keamanan Indonesia dan 10 orang luka-luka 1 orang bernama Endi Wanimbo tewas di tangan aparat keamanan Indonesia. Dalam kasus ini terbukti rasisme, ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM. Rasisme dan ketidakadilan terlihat Panglima TNI, Kapolri, Menteri Sosial datang ke kabupaten Tolikara hanya mengurus orang-orang pendatang di Tolikara, urus kayu-kayu dan senk kios yang terbakar. Karena kios itu digunakan sebagai tempat ibadah (Musolah). Musolah itu terbakar, bukan dibakar. Panglima TNI, Kapolri dan Menteri Sosial Republik Indonesia tidak mempersoalkan 10 orang yang luka-luka akibat ditembak aparat keamanan Indonesia dan 1 orang Endi Wanimbo yang tewas.
Pendeta Elisa Tabuni ditembak TNI anggota Kopassus pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Puncak Jaya.TNI juga membuat berita HOAX tentang tewasnya Pendeta Elisa Tabuni di tangan pasukan elit TNI Kopassus dibawah pimpinan Letkol Inf. Yogi Gunawan di Tingginambut, Puncak Jaya, 16 Agustus 2004. TNI menyebarkan berita hoax dimedia massa yang dikontrol militer, bahwa Pendeta Elisa Tabuni ditembak mati oleh Pimpinan TPN-PB OPM Goliat Tabuni. Fakta yang saya temukan langsung di lapangan, bahwa pasukan elit TNI Kopassus mengikat tangan Pendeta Elisa Tabuni dan tewas ditembak di depan mata anak laki-lakinya.
Adapun korban tewas dalam demo damai yang melawan rasisme pada 19 Agustus-23 September 2019. Demo damai melawan rasisme dipicu dari peristiwa RASISME yang terjadi pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Yogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKPP). Nama-nama korban sebagai berikut:
(1) Marselino Samon (15) pelajar SMA ditikam hingga tewas pada 29 Agustus 2019 di belakang Kantor Pos Jayapura. (2) Evert Mofu (21) penjaga gudang kontainer pada 29 Agustus 2019 dibacok kepala dan mati di tempat di Telkom Kota Jayapura. (3)Maikel Kareth (21) mahasiswa Uncen semester 7 pada 31 Agustus 2019 ditembak didada tembus belakang dengan peluru tajam. (4) Oktovianus Mote (21) Mahasiswa STIKOM Muhamadiah pada 30 Agustus 2019 jenazah disimpan di freezer di RS Bhayangkara dan jenazah diambil keluarga pada 25 September 2019.
Semua ini korban tewas dari tangan milisi, barisan merah putih dan paguyuban Nusantara. Kelompok kriminal ini bergerak leluasa tanpa dihalangi oleh aparat kemananan TNI dan Polri. Masih banyak luka-luka serius dan ringan yang dialami oleh orang asli Papua. Terlihat aparat keamanan Indonesia melakukan pembiaran para kriminal kota ini dan sepertinya kelompok kriminal kota ini dilindungi TNI-Polri.
Apakah aparat kepolisian Indonesia sudah menangkap para pelaku kriminal ini? Kalau sudah, kapan ditangkap? Siapa-siapa pelakunya pembunuhan? Dimana ditahan para penjahat ini? Dimana proses peradilan dilaksanakan?
Contoh kekejaman Negara terbukti 4 siswa di Paniai yang tewas ditembak Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 8 Desember 2014. Nama-nama siswa yang tewas di tangan TNI: Simon Degey (17), Apinus Gobay (16), Alfius Youw (18) dan Yulianus Yeimo (17). Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi sampai sekarang kasus penembakan itu belum diselesaikan.
Aparat TNI yang bertugas di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat pada Senin 27 Mei 2019 menewaskan empat warga sipil di antaranya meninggal yakni Xaverius Sai (40), Nilolaus Tupa (38), Matias Amunep (16), dan Fredrikus Inepi (35). Tetapi, para pelakunya tidak pernah diproses karena pelakunya TNI yang kebal hukum di Indonesia.
Pasukan TNI 756 yang bertugas di Tingginambut, Mulia, Puncak Jaya juga menembak mati Omanggen Wonda pada 31 Januari 2008. Saya pergi protes kepada pasukan TNI 757 dan mereka menyangkal, tetapi saya sudah memiliki data bahwa pelaku kejahatan itu TNI 756.
Aparat keamanan kepolisian Indonesia telah menembak mati Yesaya Mirin (21/lk) mahasiswa Universitas Cenderawasih dan lehernya dipatahkan dan mukanya dihancurkan pada 4 Juni 2012 di Sentani, Jayapura.
Imanuel Piniel Taplo (20/lk) meninggal di Rumah Sakit Yowari, Jayapura, pada 6 Juni 2012 akibat disiksa dan mukanya dihancurkan dari tangan aparat kepolisian Indonesia pada 4 Juni 2012 dan bahu sebelah kirinya luka serius dan mengeluarkan banyak darah hingga nyawanya tidak tertolong.
Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga. “Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Dari keprihatikan ini, Dewan Gereja Papua, juga disebut West Papua Council of Churches (WPCC) dalam laporan tertanggal 7 Oktober 2020 yang dirilis pada 8 Oktober membeberkan bukti-bukti REMILITERISASI atau berlaku kembali Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua.
Laporan Dewan Gereja Papua (WPCC) membuka mata seluruh rakyat Indonesia dan komunitas global. Laporan itu berjudul: "Rakyat Papua Bukan Musuh NKRI: Stop Remiliterisasi Tanah Papua dam Tindaklanjuti Janji Presiden untuk Bertemu Kelompok Pro-Referendum Papua."
"Remiliterisasi Tanah Papua sebagai siasat Indonesia untuk melanjutkan OTSUS secara sepihak; mengembalikan Tanah Papua ke status DOM (Daerah Operasi Militer) melalui pembangunan KODIM & KOREM baru sejak 2019 dan pengiriman pasukan ke Tanah Papua yang dimulai sejak 29 Agustus 2019 hingga hari ini belum berakhir; dalam rangka penguasaan sumber daya alam Tanah Papua secara masif" (hal.1).
Wamena, 10 Desember 2020
Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
Telpon 081344553374
Direktur Eksekutif
Theo Hesegem