Jiwa memiliki beberapa arti, yaitu:
ü Roh manusia yang ada di dalam tubuh dan
menyebabkan seseorang hidup
ü Seluruh kehidupan batin manusia, yang meliputi
perasaan, pikiran, dan angan-angan
ü Inti spiritual dan kesadaran diri
ü Sesuatu atau orang yang utama dan menjadi
sumber tenaga atau semangat
ü Isi (maksud) yang sebenarnya atau arti
ü Buah hati atau kekasih
ü Daya hidup orang atau makhluk hidup lain
Menurut Ibnu Sina dan Aristoteles, jiwa adalah sesuatu yang ghaib, tidak bisa dilihat secara langsung, tetapi bisa dirasakan. Keberadaannya bisa diketahui melalui petunjuk dari Tuhan dan dipelajari dari Al-Quran dan Sunnah. Menurut St. Maximos The, jiwa manusia terdiri dari pikiran, emosi, dan kehendak. Pikiran manusia dapat berpikir, emosi atau perasaan manusia dapat mengasihi, dan kehendak manusia dapat memilih. Jiwa dan raga merupakan dua aspek penting dalam kehidupan manusia. Jiwa mencerminkan inti spiritual dan kesadaran diri, sementara raga merupakan bagian fisik yang memungkinkan kita berinteraksi dengan dunia fisi.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jiwa: Jiwa (berasal dari bahasa
Sanskerta : jiva yang artinya "benih kehidupan")
Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah
bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa
dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau
awak diri.[1] Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus
setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama
mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda
mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.[2] Penggunaan istilah jiwa
dan roh sering kali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan
dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua.[3] Jiwa dan psyche bisa
juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik,
sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama.[4] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di di tubuh
dan menyebabkan seseorang hidup atau nyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh
kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan
sebagainya).[5] Jiwa manusia berbeda
dengan jiwa makhluk yang lain seperti binatang, pohon, dan sebagainya. Jiwa
manusia bagaikan alam semesta, atau alam semesta itu sendiri, yang tersembunyi
di dalam tubuh manusia dan terus bergerak dan berotasi.[butuh rujukan] jiwa hanya lah sebuah nyawa
yang dikendalikan oleh roh.
Filsuf pertama yang mempelajari dan
memberikan definisi mengenai jiwa adalah Plato. Dalam pemikirannya, Plato
mengartikan jiwa sebagai sesuatu yang tidak tampak
tetapi merupakan dunia nyata yang tidak berubah. Sifat dari jiwa
ialah kekal dan tidak berubah. Tubuh dan jiwa dianggap berbeda. Masing-masing
mempunyai fungsi bagi keberadaan manusia. Jiwa
berperan sebagai pengatur tindakan rasional yang kemudian
mengendalikan keinginan atau nafsu manusia. Plato adalah orang pertama yang menulis bahwa
jiwa bukan saja esensi hidup tetapi juga esensi pikiran manusia.[6] Dalam naskah-naskah
Plato kita menemukan bahwa jiwa memainkan banyak peran, di antaranya sebagai
penggerak tubuh, pembawa sifat-sifat moral, dan sebagai akal (nous) yang
berpikir.
Definisi Jiwa Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah seorang filsuf dan dokter Muslim yang
lahir pada tahun 980 M di Afshana, sebuah wilayah yang tidak jauh dari Buhkara.
Dia merupakan salah satu tokoh utama dalam sejarah ilmu pengetahuan dan
merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam filsafat Islam. Selain itu Ibnu Sina
juga dianggap sebagai salah satu tokoh psikologi Islam. Ibnu Sina memiliki
pendekatan yang sangat komprehensif dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan
jiwa.
Menurut pendekatan Ibnu Sina terhadap jiwa, jiwa
dan ruh merupakan istilah yang sama dan memiliki arti yang sama. Menurut Ibnu
Sina, jiwa adalah subtansi ruhani yang memancar kepada jasad dan
menghidupkannya lalu menjadikannya alat untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu,
sehingga dengan keduanya ia bisa menyempurnakan dirinya dan mengenal
Tuhan (Yamin, 2016). Menurutnya jiwa atau ruh adalah aspek yang
memberikan kemampuan pada seseorang untuk merasakan, berpikir, dan bertindak.
Jiwa atau ruh juga merupakan bagian dari sistem tubuh yang bertanggung jawab
untuk mengendalikan fungsi tubuh, termasuk pertumbuhan, pergerakan, dan respon
terhadap lingkungan.
Ibnu Sina menjelaskan bahwa hubungan antara
jiwa dan badan adalah sangat erat. Ia percaya bahwa jiwa memiliki peran yang
penting dalam mengatur fungsi tubuh, termasuk proses penyembuhan. Ibnu Sina
menjelaskan bahwa hubungan antara jiwa dan badan tidak terdapat dalam individu
saja, tetapi jiwa yang cukup kuat bisa menyembuhkan badan yang sakit, tanpa
badan itu harus berobat jika penyakitnya tidak parah, Ibnu Sina dapat meneliti
hal seperti ini secara ilmiah dan menjelaskan betapa jiwa yang kuat bisa
membuat fisik yang kuat juga (Kusuma, 2022). Namun, Ibnu Sina
juga menekankan bahwa penyakit yang parah tidak bisa disembuhkan hanya dengan
kekuatan jiwa saja. Namun, jiwa yang kuat bisa membantu proses penyembuhan
dengan cara memperkuat sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kemampuan tubuh
untuk menangani penyakit.
JIWA MENURUT ORANG KRISTEN
"Jiwaku memuliakan Tuhan" (Luk. 1:46). Di
sini kata jiwa bersinonim dengan roh; keduanya menunjuk kepada keadaan
emosi, dan dalam pengertian tertentu sama dengan hati, yang merupakan tempat
bagi semua pikiran, perasaan dan kehendak (Luk. 1:46, 47).
Apakah yang dimaksud dengan
jiwa?
Istilah ini telah dipakai dalam beraneka ragam
pengertian oleh para penulis Alkitab. Kata nephesh dalam
Perjanjian Lama secara harfiah diterjemahkan "yang
bernafas," sama dengan kata psyche dalam
Perjanjian Baru yang diterjemahkan jiwa atau hidup.
(1) Itu berarti kehidupan fisik menurut keadaan yang alamiah. "Mereka yang
hendak membunuh Anak itu, sudah mati" (Mat. 2:20); "Bukankah hidup itu
lebih penting daripada makanan?" (Mat. 6:25). (2) Itu berarti bahwa
kehidupan emosi dan keinginan, termasuk nafsu makan atau rasa haus, dan
perasaan kebaikan hati maupun perasaan kebencian. "Jiwaku memuliakan
Tuhan" (Luk. 1:46). Di sini kata jiwa
bersinonim dengan roh; keduanya menunjuk kepada keadaan emosi,
dan dalam pengertian tertentu sama dengan hati, yang merupakan
tempat bagi semua pikiran, perasaan dan kehendak (Luk. 1:46, 47). Pengertian jelek dari kata
itu dipakai dalam Yakobus 3:16, di mana iri hati
ditunjukkan sebagai suatu sifat yang berhubungan dengan hawa nafsu, yang
fisik/kejiwaan. (3) Kata itu berarti diri sendiri, yang membedakan satu
individu dari lainnya. "Aku akan berkata kepada jiwaku," yaitu kepada
diriku (Luk. 12:19). "Tiap-tiap orang
[jiwa] harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya" (Rm. 13:1). (4) Kata itu juga dipakai
dalam pengertian agama: Paulus dan Barnabas menguatkan hati murid-murid (Kis. 14:22). Pengharapan adalah sauh
bagi jiwa (Ibr. 6:19). Pada dua contoh ini jiwa
dipakai sebagai sinonim dengan roh; tetapi dalam kebanyakan kasus jelas ditarik
perbedaan antara jiwa yang bersifat alamiah dengan roh yang berhubungan dengan
Allah. Perbedaan ini pertama kali ditekankan oleh Yesus, yang membantu manusia
untuk menyadari kehidupan ilahi di dalam diri mereka dan mengajak mereka
memperdalam kemampuan rohani dengan menanggapi himbauan penuh kasih dari Roh
Kudus. Tetapi, Pauluslah yang dalam suratnya menekankan supremasi roh.
Jiwa adalah eksistensi kesadaran yang terdiri atas
berbagai hasrat, dorongan, emosi dan kemauan. Jiwa mengacu pada manusia dalam
keadaannya yang alamiah, belum tersentuh oleh penyataan anugerah Allah. Yang
membedakan satu individu dari individu lain ialah kepribadian di dalam dirinya.
Manusia yang bermoral menghidupi keluarganya, menyelesaikan urusan atau
bisnisnya, membayar hutangnya dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat.
Tetapi, dia belum mempertimbangkan Allah yang menyatakan diri melalui Yesus Kristus,
dan dia tetap di luar persekutuan ilahi. Hidupnya akan terus tidak sempurna,
sampai dia (rohnya) dilahirkan kembali dan dia mengizinkan Roh Yang Kekal,
yaitu Roh Kristus, memiliki dirinya. Ketika ini terjadi orang itu seutuhnya
mengalami satu transformasi (perubahan). Dia merasa bahwa penghuni spiritual
yang mendiami kemanusiaannya benar-benar tamu yang kekal, tercermin melalui
pikiran, hasrat, tindakan dan watak, dan sifat Allah. Jadi, kita mengetahui
bahwa jiwa yang hidup dalam diri orang, walaupun tidak dapat dijelaskan
kata-kata manusia, ikut memiliki sifat ilahi dan tidak dapat binasa. Semoga menamba Wawasan [YG
]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar