Pengkhotbah 1:12-18
Pengkhotbah menyebutkan bagaimana hubungan dirinya dengan hikmat. Pertama, ia memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang terjadi. Ini pekerjaan yang diberikan Allah kepada manusia (13). Kedua, ia memperbesar dan menambah hikmat (16). Ketiga, ia memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan, tetapi pada saat yang sama menemukan banyak kesusahan hati dan kesedihan (18).
Hikmat adalah kebijaksanaan atau kearifan seseorang dalam menjalani hidup. Sebetulnya setiap orang memiliki hikmat, baik muda maupun tua. Hikmat adalah bagian yang tak terlepaskan dalam hidup manusia. Manusia lahir, bertumbuh, menjadi dewasa, dan bertambah pengetahuan serta pengalaman hidupnya. Pertanyaannya, seberapa besar hikmat itu dikembangkan?
Pengkhotbah sedang memperlihatkan bagaimana orang berhikmat menjalani hidupnya. Dengan pengalaman hidup berupa keteguhan hati, ia akan terus menggali apa yang pernah dialami dan yang sedang dihadapi. Ada proses yang tidak pernah selesai untuk merenungkan makna kehidupan.
Pengalaman dan proses itulah yang oleh Pengkhotbah dianggap melelahkan diri dan sia-sia bagaikan usaha menjaring angin. Selama proses perenungan, kita diajak untuk jujur mengatakan bahwa hidup ini melelahkan. Bangun pagi-pagi, tergesa-gesa berangkat ke sekolah atau tempat kerja, berlelah-lelah sepanjang hari, lalu kembali ke rumah untuk tidur dalam kelelahan. Semua ini menjadi rutinitas yang tidak berujung. Jika kita mengejar makna hidup, bisa saja kita setuju dengan Pengkhotbah bahwa semua itu melelahkan dan menyedihkan.
Pengalaman Pengkhotbah menantang kita untuk sungguh-sungguh menjalani hidup yang merupakan anugerah Tuhan, agar kita memperoleh hikmat yang sesungguhnya. Hal ini bukan karena keinginan kita, melainkan karena kehendak Tuhan. Kita memohon ampun, belajar berdiam diri, dan mendengarkan firman-Nya. Kita menjalani hidup yang bertanggung jawab dan menikmati segala yang kita jumpai di dalamnya. [TMP]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar