Teguran terhadap Kemunafikan
Matius 6:1-4
Dalam pasal sebelum ini, Kristus memperlengkapi murid-murid-Nya untuk menghadapi berbagai pengajaran dan pendapat yang rusak dari para ahli Taurat dan orang Farisi, terutama penjelasan mereka akan hukum Taurat (yang juga disebut ragi, 16:12). Dalam pasal ini, Ia memperingatkan mereka terhadap perilaku buruk orang Farisi dan ahli Taurat yang melakukan dua dosa yang, meskipun tidak mereka akui dalam pengajaran mereka, namun tampak dalam percakapan mereka. Perilaku buruk mereka ini sudah dikenal luas dan bahkan dianjurkan kepada para pengikut mereka. Kedua dosa tadi adalah kemunafikan dan pikiran duniawi. Dari semua dosa lain, kedua dosa inilah yang harus paling diwaspadai orang percaya karena paling mudah menghinggapi orang-orang yang telah melepaskan diri dari kecemaran nafsu dunia yang lebih berat, dan oleh sebab itu sangat berbahaya. Di sini kita diperingatkan:
I. Terhadap kemunafikan
Kita tidak boleh menjadi seperti orang munafik dan berperilaku seperti mereka.
Dalam berdoa (ay. 5-8). Di sini kita diajar tentang apa yang harus kita doakan, dan bagaimana harus berdoa (ay. 9-13). Kita juga diajarkan untuk mengampuni dalam doa (ay. 14-15).
II. Terhadap pikiran duniawi
Dalam membuat pilihan, yang merupakan dosa orang munafik, yang sifatnya membinasakan (ay. 19-24). Dalam hal kekhawatiran, yang merupakan dosa mengerikan yang dilakukan banyak orang Kristen (ay. 25-34).
Teguran terhadap Kemunafikan dalam Memberi Sedekah (6:1-4)
Sama seperti kita harus berlaku lebih baik daripada para ahli Taurat dan orang Farisi dengan cara menghindari dosa dalam hati, perzinahan dalam hati, dan pembunuhan dalam hati, demikian pula kita harus memelihara dan menjaga ibadah dalam hati. Kita harus melakukan segala sesuatu berdasarkan asas penting yang keluar dari dalam, supaya perbuatan kita itu bisa diterima oleh Allah, dan bukan supaya dipuji oleh manusia. Artinya, kita harus berjaga-jaga terhadap kemunafikan, yakni ragi orang Farisi, termasuk pengajaran mereka (Luk. 12:1). Memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa, merupakan tiga kewajiban utama orang Kristen tiga dasar hukum, menurut orang Arab. Dengan melakukan hal-hal tersebut, kita memberikan penghormatan dan pelayanan kepada Allah melalui tiga kepentingan asasi kita, yaitu doa dengan segenap hati, puasa dengan tubuh kita, dan pemberian sedekah dengan harta benda kita. Jadi, kita bukan saja harus menjauhi yang jahat, tetapi juga melakukan yang baik, dan melakukannya dengan benar, supaya dengan demikian perbuatan baik kita itu tetap tinggal untuk selama-lamanya.
Dalam ayat-ayat ini, kita diperingatkan terhadap kemunafikan dalam memberi sedekah. Waspadalah akan hal ini. Peringatan yang diberikan kepada kita ini menandakan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa.
Kita ada dalam bahaya yang sangat besar, karena dosa ini tidak kentara. Kemuliaan yang sia-sia menjelma secara licin ke dalam perilaku kita sebelum kita menyadarinya. Murid-murid Kristus bisa saja tergoda melakukan dosa kemunafikan ini karena mereka memiliki kuasa untuk melakukan banyak mujizat dan karena mereka hidup dengan orang-orang yang sebagiannya mengagumi mereka dan sebagian lain lagi tidak menyukai mereka, dan kedua kelompok orang ini merupakan pencobaan bagi murid-murid tersebut untuk memamerkan diri dalam kedagingan.
Ini adalah dosa yang sangat berbahaya bagi kita. Berhati-hatilah terhadap kemunafikan, karena jika sampai menguasai diri Anda, sikap ini akan menghancurkan kita, bagaikan lalat mati yang mencemari seluruh botol berisi minyak yang sangat berharga.
Ada dua hal yang ditekankan di sini
I. Memberi sedekah adalah kewajiban yang sangat penting yang harus dijalankan semua murid Kristus, sesuai kemampuan masing-masing.
Hal ini diatur dalam hukum alam dan hukum Musa, dan sangat ditekankan oleh para nabi. Bermacam-macam tulisan kuno mencatat tēn eleēmosynēn sedekahmu, yang diartikan sebagai tēn dikaiosynēn kebenaranmu, sebab memberi sedekah adalah kebenaran (Mzm. 112:9; Ams. 10:2). Orang Yahudi menyebut kotak amal untuk orang miskin sebagai kotak kebenaran. Semua yang diberikan kepada orang miskin dianggap sebagai hak yang patut mereka terima (Ams. 3:27). Kewajiban ini tidak akan menjadi berkurang dalam hal kepentingan dan keutamaannya, sekalipun sudah disalahgunakan oleh orang-orang munafik demi memuaskan kesombongan mereka. Janganlah karena sebagian orang Kristen telah mengagung-agungkan perbuatan amal secara takhayul, lalu hal ini dijadikan dalih yang membebaskan orang-orang Kristen lainnya yang tamak untuk tidak perlu memberi sedekah. Memang benar, perbuatan amal kita tidak dapat membawa kita ke sorga. Namun, tidak kalah benarnya bahwa kita juga tidak dapat masuk sorga tanpa berbuat amal. Ini adalah ibadah yang murni (Yak. 1:27), yang akan menjadi ujian pada hari yang agung itu. Di sini, Kristus menganggap dengan sendirinya murid-murid harus memberi sedekah, atau Dia tidak akan mengakui mereka yang tidak mau melakukannya.
II. Bahwa memberi sedekah itu merupakan suatu kewajiban yang disertai dengan upah yang sangat besar, yang akan hilang bila dilakukan dengan kemunafikan.
Kadang-kadang perbuatan itu mendapat upah berupa hal-hal sementara dalam kelimpahan (Ams. 11:24-25; 19:17); tak akan berkekurangan (Ams. 28:27; Mzm. 37:21, 25); luput dari celaka (Mzm. 41:2-3); kehormatan dan kebesaran, yang mengikuti orang-orang yang menolong mereka yang miskin (Mzm. 112:9). Akan tetapi, selain semuanya ini, pada hari kebangkitan orang-orang benar, perbuatan amal ini akan mendapat balasannya dalam bentuk kekayaan kekal (Luk. 14:14). Quas dederis, solas semper habebis, opes -- Kekayaan yang kauberikan akan membentuk satu-satunya kekayaan yang akan selalu kaumiliki (Martial).
Seperti apa perilaku orang-orang munafik mengenai kewajiban ini. Mereka memang benar-benar melakukannya, tetapi bukan berdasarkan asas kepatuhan kepada Allah atau kasih kepada manusia, melainkan dalam kesombongan dan kemuliaan yang sia-sia. Bukan dengan belas kasihan terhadap orang miskin, melainkan murni untuk pamer, agar dipuji sebagai orang baik sehingga dengan demikian mendapat perhatian dan penghargaan orang. Dengan demikian mereka melayani kebutuhan mereka sendiri dan mendapat jauh lebih banyak daripada yang mereka berikan. Karena mengejar tujuan ini, mereka lebih suka memberi sedekah mereka di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, di mana banyak orang berhimpun dan dapat mengamati mereka. Orang-orang yang berhimpun ini memuji-muji kedermawanan orang-orang munafik itu karena telah menerima bagian dari pemberian mereka, dan karena begitu tidak pedulinya orang-orang ini, mereka tidak bisa menilai kesombongan yang menjijikkan itu. Mungkin mereka juga memungut kolekte di rumah-rumah ibadat untuk orang miskin, dan pengemis-pengemis berkeliaran di lorong-lorong dan jalan besar, dan pada kesempatan di depan umum seperti inilah mereka memilih untuk memberi sedekah. Ini bukan berarti bahwa orang dilarang memberi sedekah ketika orang melihat kita. Kita boleh saja melakukannya, namun jangan dengan maksud supaya dilihat orang. Lebih baik kita memilih orang-orang yang patut menerima derma di antara mereka yang kurang diperhatikan. Saat memberi sedekah di rumah sendiri, orang munafik akan mencanangkan hal itu, meniup terompet, berpura-pura memanggil orang miskin untuk dilayani, namun sebenarnya yang mereka lakukan adalah mengumumkan kedermawanan mereka, supaya diperhatikan dan diperbincangkan orang.
Malapetaka yang disampaikan Kristus ke atas perilaku ini sangat jelas. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Sekilas, kata-kata ini mirip sebuah janji Jika mendapat upah, mereka akan memiliki yang cukup, namun ada dua perkataan di dalamnya yang membuat kalimat tersebut menjadi ancaman.
(1) Itu memang merupakan upah, tetapi upah mereka.
Bukan upah yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berbuat baik, melainkan upah yang mereka janjikan bagi diri mereka sendiri, dan sangat malanglah upah ini. Mereka melakukan hal itu supaya dilihat orang, dan mereka memang dilihat orang. Mereka memilih untuk mengikuti kepercayaan sendiri, yang akhirnya menipu diri mereka sendiri, dan mereka akan mendapatkan apa yang mereka pilih itu. Orang-orang percaya yang duniawi mengadakan persetujuan dengan Allah hanya untuk memperoleh kedudukan, kehormatan, serta kekayaan, dan perut mereka akan kenyang dengan hal-hal tersebut (Mzm. 17:14). Namun, mereka tidak dapat mengharapkan lebih banyak. Hanya inilah penghiburan mereka (Luk. 6:24), hal-hal yang baik menurut mereka (Luk. 16:25), dan mereka akan ditolak bersama dengan hal-hal yang mereka dapatkan ini. "Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Inilah kesepakatan yang patut kaupatuhi."
(2) Itu memang suatu upah, tetapi upah untuk masa kini, dan mereka mendapatkannya.
Tetapi, hanya itu saja, tidak ada lagi yang tersimpan bagi mereka di masa mendatang. Sekarang mereka telah mendapatkan semua yang pantas mereka dapatkan dari Allah. Mereka telah mendapat upah mereka di sini, dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan sesudah itu. Apechousi ton mishton. Artinya, itu sudah merupakan suatu penerimaan yang penuh. Sebaliknya, upah yang diterima orang saleh dalam kehidupan ini hanya dibayar sebagian. Nantinya, akan ada jauh lebih banyak upah lagi. Tetapi, orang munafik mendapatkan semuanya di dunia ini, dan begitulah malapetaka yang akan mereka alami, karena mereka sendirilah yang telah memutuskannya. Bagi orang-orang kudus, dunia ini hanyalah tempat perbekalan, atau uang untuk dibelanjakan. Namun, bagi orang munafik, itulah bayaran mereka, itulah bagian mereka.
Apa yang merupakan ajaran Kristus mengenai hal ini (ay. 3-4). Dia sendiri yang merupakan teladan dalam hal kerendahan hati, menekankan hal ini kepada murid-murid-Nya sebagai sesuatu yang mutlak perlu supaya tindakan mereka diterima Allah, "Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Mungkin hal ini menyinggung tentang penempatan Corban, atau kotak amal bagi orang miskin untuk memasukkan persembahan, yakni di sebelah kanan pintu masuk rumah ibadat. Dengan demikian mereka dapat memasukkan pemberian mereka ke dalamnya dengan tangan kanan. Bisa juga, memberi sedekah dengan tangan kanan menyiratkan kesediaan dan ketetapan hati dalam melakukannya, yakni dengan terampil, bukan dengan canggung atau maksud jahat. Tangan kanan dapat digunakan untuk menolong orang miskin, mengangkat mereka, menulis untuk mereka, membalut luka-luka mereka, dan berbagai hal selain memberi sedekah kepada mereka. Namun, "kebaikan apa pun yang dilakukan tangan kananmu bagi orang miskin, janganlah diketahui tangan kirimu. Sembunyikan tindakan ini sebisa mungkin, rahasiakanlah ini baik-baik untuk dirimu sendiri. Lakukanlah hal ini karena ini suatu pekerjaan yang baik, bukan dengan maksud untuk memberi nama baik bagimu." In omnibus factis, re, non teste, moveamur -- Dalam semua tindakan, kita harus dipengaruhi rasa hormat terhadap orang yang menerimanya, bukan yang mengamatinya (Cic de Fin). Ini artinya:
(1) Bahwa kita tidak boleh membiarkan orang lain mengetahui apa yang kita perbuat, bahkan tidak juga oleh, orang-orang yang berdiri sangat dekat di sebelah kiri kita.
Bukannya memberitahukan hal itu kepada mereka, malah sebaliknya, jika memungkinkan, janganlah mereka sampai mengetahuinya. Milikilah keinginan untuk menutupi perbuatan ini dari mereka, dan demi sopan santun mereka juga tidak akan menunjukkan bahwa mereka melihatnya dan tidak akan menyebarluaskannya sehingga kabar tentang perbuatan ini tidak berlanjut ke mana-mana.
(2) Bahwa kita sendiri jangan terlampau memikirkannya secara berlebihan: tangan kiri itu merupakan bagian dari tubuh kita sendiri.
Janganlah kita terlalu mengingat-ingat perbuatan baik kita, jangan memuji dan mengagumi diri sendiri. Kecongkakan dan rasa puas diri, serta memuja diri adalah macam-macam kesombongan yang sama berbahayanya dengan kemuliaan sia-sia dan sikap pamer di depan orang lain. Biasanya orang-orang besar yang dihormati karena jasa-jasa baik mereka malah telah melupakan semua jasa baik mereka itu; "Bilamanakah kami melihat Engkau lapar atau haus?"
Janji yang diberikan kepada mereka yang tulus dan rendah hati dalam memberi sedekah. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi itu akan memerhatikannya. Perhatikanlah, ketika kita sama sekali tidak memerhatikan perbuatan baik kita, Allah justru sangat memerhatikannya. Seperti halnya Allah mendengar perbuatan jahat yang dilakukan terhadap kita ketika kita tidak mendengarnya (Mzm. 37:14-15), demikian pula Ia juga melihat perbuatan baik kita ketika kita tidak melihatnya. Bagi orang munafik, sungguh menakutkan bila Allah melihat yang tersembunyi, tetapi bagi orang Kristen yang tulus, hal ini justru merupakan penghiburan. Namun, ini belumlah semuanya, karena mereka bukan saja akan menerima perhatian dan pujian, melainkan juga upah dari Allah, yang akan membalasnya kepadamu. Perhatikanlah, mereka yang ingin diterima Allah melalui pemberian sedekah harus berserah diri saja pada-Nya sebagai Sang Pemberi Upah. Amatilah betapa hal ini diungkapkan dengan tegas, Bapamu akan membalasnya, Dia sendirilah yang menjadi Pemberi Upah itu (Ibr. 11:6). Biarlah Dia sendiri yang membalas kebaikanmu itu, ya, bahkan Dia sendirilah yang akan menjadi Upah itu (Kej. 15:1), upahmu akan sangat besar. Dia akan memberimu upah sebagai Bapamu, bukan sebagai seorang tuan yang memberi kepada hambanya sekadar upahnya saja dan tidak lebih dari itu. Sebagai seorang Bapa, Dia akan memberi dengan berlimpah-limpah, tanpa batas, kepada anak-anak-Nya yang melayani-Nya. Ya, Dia akan memberimu upah secara terbuka di depan orang banyak, kalaupun bukan sekarang, tentu pada hari yang agung itu. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah, pujian yang terbuka, engkau akan diakui di hadapan manusia. Jika perbuatan memberi sedekah itu tidak terbuka, upah itu yang akan terbuka, dan ini lebih baik.SEKIAN
SOLIDEO GLORIA