Senin, 05 April 2021

PESAN UNTUK PARA RASUL EDISI VI

(1)   Janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan (ay. 19).

"Ketika kamu dibawa ke hadapan pengadilan, bersikaplah sopan, tetapi janganlah kamu menyiksa dirimu dengan memikirkan bagaimana caranya kamu bisa terlepas dari semua masalah ini. Memang kamu harus berpikir dengan bijak, tetapi tidak dengan cemas, gundah-gulana dan gelisah. Serahkanlah kekhawatiranmu ini kepada Allah, termasuk juga apa yang harus kamu makan dan apa yang harus kamu minum. Janganlah berusaha mencari-cari perkataan yang cocok, ad captandam benevolentiam untuk mencari keuntungan sendiri dengan usaha sendiri. Janganlah menyampaikan sesuatu dengan ungkapan yang indah-indah, atau berlagak seperti orang pandai, dan mengulur-ulur waktu, karena ini hanya akan memberi kesan bahwa kamu sedang berusaha menutup-nutupi kejahatan yang kamu lakukan. Perbuatan baik tidak perlu ditutup-tutupi. Dengan merasa cemas seperti ini, kamu tidak akan memberikan kesan yang baik tentang dirimu, karena seolah-olah bukti pembelaanmu tidak cukup untuk dibiarkan berbicara sendiri. Kamu tahu atas dasar apa kamu pergi, dan karena itu verbaque prævisam rem non invita sequentur -- pernyataan-pernyataan yang tepat dengan sendirinya akan datang juga." Tidak pernah ada orang yang bisa berbicara lebih baik di hadapan penguasa-penguasa dan raja-raja daripada ketiga orang pemenang ini, yang tidak memikirkan terlebih dulu apa yang harus mereka katakan, "Wahai Nebukadnezar, tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini" (Dan. 3:16; Mzm. 119:46). Perhatikanlah, murid-murid Kristus harus lebih memikirkan bagaimana bersikap baik daripada berbicara baik; bagaimana menjaga nama baik dan keutuhan diri mereka daripada membelanya. Non magna loquimur, sed vivimus Hidup kita sendirilah, dan bukan kata-kata sombong, yang memberikan pembelaan yang terbaik.

(2)   Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain (ay. 23).

"Tolaklah mereka yang menolak kamu dan ajaranmu, dan lihatlah apakah orang lain juga tidak mau menerima kamu dan ajaranmu. Berpindahlah dari satu tempat ke tempat lain demi keselamatanmu sendiri." Perhatikanlah, dalam menghadapi bahaya yang mengancam, murid-murid Kristus boleh dan harus berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara melarikan diri, jika Allah dalam pemeliharaan ilahi-Nya memang membukakan pintu bagi mereka untuk meloloskan diri. Orang yang melarikan diri bisa berjuang kembali. Bukanlah hal yang memalukan bagi prajurit-prajurit Kristus untuk melarikan diri dari suatu tempat, asalkan mereka tidak lantas berhenti melakukan pekerjaan. Mereka boleh lari menghindari bahaya, namun tidak boleh lari menjauh dari kewajiban. Lihat betapa pedulinya Kristus terhadap murid-murid-Nya sampai Ia mau menyediakan tempat pelarian dan perlindungan bagi mereka. Karena diberikan perintah demikian, maka penganiayaan itu tidak akan mengamuk di semua tempat pada waktu yang sama. Bila kota yang satu sudah terlalu panas bagi mereka, maka kota yang lain disediakan sebagai tempat berlindung yang sejuk dan sebagai sebuah tempat pengungsian kecil; ini merupakan suatu pertolongan yang harus dimanfaatkan, jangan diabaikan. Akan tetapi, melarikan diri ini bisa dilakukan selalu dengan satu syarat, yaitu bahwa sarana yang tidak benar dan terlarang tidak boleh digunakan untuk melarikan diri, karena bila tidak demikian, maka pintu yang tersedia itu sesungguhnya bukan pintu yang dibukakan Allah. Kita banyak melihat contoh kejadian yang menggambarkan penerapan perintah ini baik dalam sejarah Kristus maupun para rasul-Nya, dan dalam semua kejadian itu, yang terpenting untuk berhasil adalah hikmat dan keutuhan diri dalam mengikuti Kristus.

(3)   Janganlah kamu takut terhadap mereka (ay. 26), karena mereka hanya berkuasa membunuh tubuh (ay. 28).

Perhatikanlah, sudah menjadi kewajiban dan kepedulian murid-murid Kristus untuk tidak boleh takut terhadap musuh-musuh mereka yang paling hebat sekalipun. Orang yang benar-benar takut akan Allah tidak perlu takut terhadap manusia, dan orang yang takut berbuat dosa yang paling kecil tidak perlu takut terhadap masalah yang paling besar. Takut kepada orang mendatangkan jerat, jerat yang membingungkan dan yang mengganggu ketentraman hati kita; jerat itu melilit, dan menarik kita untuk berbuat dosa. Karena itu kita harus berjaga-jaga, berusaha, dan berdoa melawan jerat ini. Memang masa di mana kita hidup ini selalu sulit, musuh semakin ganas, dan peristiwa hidup selalu mengancam. Namun demikian, kita tidak perlu takut, kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, karena kita mempunyai Allah yang begitu baik, pekerjaan yang begitu luhur, dan pengharapan yang begitu baik dalam karunia.

Memang gampang dikatakan, namun apabila pencobaan benar-benar datang, siksaan dan penganiayaan, penjara dan terali, kapak dan tiang gantungan, api dan kayu bakar, semuanya ini sungguh mengerikan. Hati orang yang paling gagah berani pun bisa gentar dan melangkah mundur, apalagi kalau jelas-jelas ada kesempatan menghindar dengan hanya beberapa langkah mundur saja. Karena itu, supaya kita kuat menghadapi cobaan ini, dikatakan di sini,

[1] Alasan yang baik untuk tidak merasa takut, yaitu karena kekuatan musuh ada batasnya.

Mereka dapat membunuh tubuh, ini yang paling bisa mereka lakukan dalam amukan mereka. Hanya sampai di sini mereka bisa menyakiti kita, jika Allah mengizinkannya, dan tidak lebih dari itu. Mereka tidak berkuasa membunuh jiwa, atau menyakitinya, dan jiwa adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian tampak bahwa jiwa tidak tertidur di dalam kematian (seperti yang dibayangkan sebagian orang), dan juga tidak terpisah dari pikiran atau pengindraan, karena jika tidak demikian, membunuh tubuh berarti juga membunuh jiwa. Jiwa dibunuh bila jiwa itu terpisah dari Allah dan kasih-Nya, yang adalah sumber hidup dari jiwa itu sendiri. Ia dibunuh bila menjadi bejana dari murka-Nya. Ini semua berada di luar kekuasaan orang-orang yang hanya bisa membunuh tubuh. Pencobaan, kesukaran, dan penganiayaan dapat memisahkan kita dari dunia, tetapi tidak dari Allah, juga tidak bisa membuat kita tidak mengasihi-Nya atau dikasihi-Nya (Rm. 8:35-37). Karena itu, jika kita lebih peduli terhadap jiwa kita dan memperlakukannya sebagai permata yang berharga, maka kita tidak akan takut lagi terhadap manusia, karena mereka tidak berkuasa merampasnya dari kita. Mereka hanya dapat membunuh tubuh, yang dengan sendirinya akan mati, bukan jiwa, yang akan terus hidup dalam dirinya dan Allahnya, kendati tubuhnya dibunuh oleh musuh-musuhnya. Mereka hanya bisa menghancurkan wadah luarnya saja. Ada seorang kafir yang menentang penindasnya dengan berkata demikian, "Tunde capsam Anaxarchi, Anaxarchum nom laedis -- Kamu mungkin bisa melecehkan Anaxarchus, tetapi kamu tidak bisa melukai Anaxarchus sendiri." Permata yang berharga sama sekali tidak tersentuh. Seneca mengartikan bahwa kita tidak bisa menyakiti manusia yang bijak dan baik, karena manusia demikian tidak memandang kematian itu sebagai sesuatu yang sungguh menyakitkan baginya. Si maximum illud ultra quod nihil habent iratæ leges, aut sævissimi domini minantur, in quo imperium suum fortuna consumit, æquo placidoque animo accipimus, et scimus mortem malum non esse ob hoc, ne injuriam quidem -- Jika kita menghadapi saat kematian atau kebinasaan dengan ketenangan hati dan pengendalian diri -- yang setelahnya hukum yang tidak adil dan penguasa yang keji tidak punya kekuatan untuk menyakiti kita dan di mana nasib tidak lagi berkuasa atas kita -- maka kita tahu bahwa kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan lagi, karena kematian tidak menggoreskan luka sedikit pun (Seneca, De Constantid).

[2] Obat yang baik untuk melawan penganiayaan atau kematian adalah takut akan Allah. Takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. Perhatikanlah,

pertama, neraka adalah tempat yang menghancurkan jiwa maupun tubuh; jadi masalahnya bukan keberadaan dari salah satunya, tetapi bagaimana keberadaan dari keduanya itu, baik atau tidak, dan ini menentukan kebinasaan manusia itu seluruhnya. Sebab, jika jiwa hilang, maka tubuh pun hilang. Keduanya berdosa secara bersama-sama; tubuh adalah penggoda bagi jiwa untuk berbuat dosa, tubuh merupakan alat untuk berdosa, dan keduanya pun harus menderita bersama-sama selamanya.

Kedua, pembinasaan ini datang dari kuasa Allah, Ia berkuasa membinasakan. Pembinasaan ini dilakukan dengan kemuliaan kekuatan-Nya (2Tes. 1:9). Dalam hal ini Ia akan menyatakan kuasa-Nya, bukan hanya wewenang-Nya untuk menghukum, melainkan juga kemampuan-Nya untuk menjalankan hukuman itu (Rm. 9:22).

Ketiga, oleh karena itu Allah haruslah ditakuti, bahkan oleh orang-orang yang paling kudus di dunia sekalipun. Dengan menyadari kedahsyatan Tuhan, kita mengajak sesama manusia untuk tunduk dan hormat kepada-Nya. Kita harus takut akan Dia sama seperti takut akan murka-Nya, demikian pula sesuai dengan kedahsyatan murka-Nya itu, demikian pula seharusnya rasa takut kita akan Dia, terutama karena tidak ada orang yang mengenal kekuatan murka-Nya (Mzm. 90:11). Kalau Adam saja yang dalam keadaan tidak berdosa merasa hormat dan tunduk oleh karena suatu ancaman, maka tiada seorang pun murid Kristus yang boleh menyangka bahwa mereka tidak perlu memiliki perasaan takut yang kudus ini. Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan TUHAN. Allah Abraham, walaupun Abraham sudah mati, disebut Yang Disegani oleh Ishak, yang masih hidup (Kej. 31:42, 53).

Keempat, takut akan Allah dan akan kuasa-Nya yang bertakhta di dalam jiwa merupakan penangkal yang ampuh terhadap perasaan takut manusia. Lebih baik tidak disukai oleh seluruh dunia daripada tidak disukai oleh Allah, dan karena itu baiklah bagi kita untuk taat kepada Allah daripada manusia (Kis. 4:19), karena selain ini baik, hal tersebut juga sungguh aman bagi kita. Orang yang takut terhadap manusia yang memang akan mati, pasti sudah melupakan TUHAN yang menjadikan mereka (Yes. 51:12-13; Neh. 4:14). Bersambung

Statistik Pengunjung