(1) Janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan (ay. 19).
"Ketika
kamu dibawa ke hadapan pengadilan, bersikaplah sopan, tetapi janganlah kamu
menyiksa dirimu dengan memikirkan bagaimana caranya kamu bisa terlepas dari
semua masalah ini. Memang kamu harus berpikir dengan bijak, tetapi tidak dengan
cemas, gundah-gulana dan gelisah. Serahkanlah kekhawatiranmu ini kepada Allah, termasuk juga apa yang
harus kamu makan dan apa yang harus kamu minum. Janganlah
berusaha mencari-cari perkataan yang cocok, ad captandam benevolentiam
untuk mencari keuntungan sendiri dengan usaha sendiri. Janganlah menyampaikan
sesuatu dengan ungkapan yang indah-indah, atau berlagak seperti orang pandai,
dan mengulur-ulur waktu, karena ini hanya akan memberi kesan bahwa kamu sedang
berusaha menutup-nutupi kejahatan yang kamu lakukan. Perbuatan baik tidak perlu ditutup-tutupi. Dengan merasa cemas
seperti ini, kamu tidak akan memberikan kesan yang baik tentang dirimu, karena
seolah-olah bukti pembelaanmu tidak cukup untuk dibiarkan berbicara sendiri.
Kamu tahu atas dasar apa kamu pergi, dan karena itu verbaque prævisam
rem non invita sequentur -- pernyataan-pernyataan yang tepat dengan sendirinya
akan datang juga." Tidak pernah ada orang yang bisa berbicara
lebih baik di hadapan penguasa-penguasa dan raja-raja daripada ketiga orang
pemenang ini, yang tidak memikirkan terlebih dulu apa yang harus mereka
katakan, "Wahai Nebukadnezar, tidak
ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini" (Dan.
3:16; Mzm. 119:46). Perhatikanlah, murid-murid Kristus harus lebih
memikirkan bagaimana bersikap baik daripada berbicara baik;
bagaimana menjaga nama baik dan keutuhan diri mereka daripada membelanya. Non
magna loquimur, sed vivimus Hidup kita sendirilah, dan bukan kata-kata
sombong, yang memberikan pembelaan yang terbaik.
(2)
Apabila
mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain (ay.
23).
"Tolaklah
mereka yang menolak kamu dan ajaranmu, dan lihatlah apakah orang lain juga
tidak mau menerima kamu dan ajaranmu. Berpindahlah dari satu tempat ke tempat
lain demi keselamatanmu sendiri." Perhatikanlah, dalam menghadapi bahaya
yang mengancam, murid-murid Kristus boleh dan harus berusaha menyelamatkan diri
sendiri dengan cara melarikan diri, jika Allah dalam pemeliharaan ilahi-Nya
memang membukakan pintu bagi mereka untuk meloloskan diri. Orang yang melarikan
diri bisa berjuang kembali. Bukanlah hal yang memalukan bagi prajurit-prajurit
Kristus untuk melarikan diri dari suatu tempat, asalkan mereka tidak lantas
berhenti melakukan pekerjaan. Mereka boleh lari menghindari bahaya, namun tidak
boleh lari menjauh dari kewajiban. Lihat betapa pedulinya Kristus terhadap
murid-murid-Nya sampai Ia mau menyediakan tempat pelarian dan perlindungan bagi
mereka. Karena diberikan perintah demikian, maka penganiayaan itu tidak akan
mengamuk di semua tempat pada waktu yang sama. Bila kota yang satu sudah
terlalu panas bagi mereka, maka kota yang lain disediakan sebagai tempat
berlindung yang sejuk dan sebagai sebuah tempat pengungsian kecil; ini
merupakan suatu pertolongan yang harus dimanfaatkan, jangan diabaikan. Akan
tetapi, melarikan diri ini bisa dilakukan selalu dengan satu syarat, yaitu
bahwa sarana yang tidak benar dan terlarang tidak boleh digunakan untuk
melarikan diri, karena bila tidak demikian, maka pintu yang tersedia itu
sesungguhnya bukan pintu yang dibukakan Allah. Kita banyak melihat contoh
kejadian yang menggambarkan penerapan perintah ini baik dalam sejarah Kristus
maupun para rasul-Nya, dan dalam semua kejadian itu, yang terpenting untuk
berhasil adalah hikmat dan keutuhan diri dalam mengikuti Kristus.
(3)
Janganlah
kamu takut terhadap mereka (ay. 26), karena mereka hanya berkuasa membunuh
tubuh (ay. 28).
Perhatikanlah,
sudah menjadi kewajiban dan kepedulian murid-murid Kristus untuk tidak boleh
takut terhadap musuh-musuh mereka yang paling hebat sekalipun. Orang yang
benar-benar takut akan Allah tidak perlu takut terhadap manusia, dan orang yang
takut berbuat dosa yang paling kecil tidak perlu takut terhadap masalah yang paling
besar. Takut kepada orang mendatangkan jerat, jerat yang membingungkan dan yang
mengganggu ketentraman hati kita; jerat itu melilit, dan menarik kita untuk
berbuat dosa. Karena itu kita harus berjaga-jaga, berusaha, dan berdoa melawan jerat
ini. Memang masa di mana kita hidup ini selalu sulit, musuh semakin ganas, dan
peristiwa hidup selalu mengancam. Namun demikian, kita tidak perlu takut, kita
tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, karena kita mempunyai Allah yang
begitu baik, pekerjaan yang begitu luhur, dan pengharapan yang begitu baik
dalam karunia.
Memang
gampang dikatakan, namun apabila pencobaan benar-benar datang, siksaan dan
penganiayaan, penjara dan terali, kapak dan tiang gantungan, api dan kayu
bakar, semuanya ini sungguh mengerikan. Hati orang yang paling gagah berani pun
bisa gentar dan melangkah mundur, apalagi kalau jelas-jelas ada kesempatan
menghindar dengan hanya beberapa langkah mundur saja. Karena itu, supaya kita
kuat menghadapi cobaan ini, dikatakan di sini,
[1]
Alasan yang baik untuk tidak merasa takut, yaitu karena kekuatan musuh ada
batasnya.
Mereka
dapat membunuh tubuh, ini yang paling bisa mereka lakukan dalam amukan mereka.
Hanya sampai di sini mereka bisa menyakiti kita, jika Allah mengizinkannya, dan
tidak lebih dari itu. Mereka tidak berkuasa membunuh jiwa, atau
menyakitinya, dan jiwa adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian
tampak bahwa jiwa tidak tertidur di dalam kematian (seperti yang dibayangkan
sebagian orang), dan juga tidak terpisah dari pikiran atau pengindraan, karena
jika tidak demikian, membunuh tubuh berarti juga membunuh jiwa. Jiwa dibunuh
bila jiwa itu terpisah dari Allah dan kasih-Nya, yang adalah sumber hidup dari
jiwa itu sendiri. Ia dibunuh bila menjadi bejana dari murka-Nya. Ini semua
berada di luar kekuasaan orang-orang yang hanya bisa membunuh tubuh. Pencobaan,
kesukaran, dan penganiayaan dapat memisahkan kita dari dunia, tetapi tidak dari
Allah, juga tidak bisa membuat kita tidak mengasihi-Nya atau dikasihi-Nya (Rm.
8:35-37). Karena itu, jika kita lebih peduli terhadap jiwa kita dan
memperlakukannya sebagai permata yang berharga, maka kita tidak akan takut lagi
terhadap manusia, karena mereka tidak berkuasa merampasnya dari kita. Mereka
hanya dapat membunuh tubuh, yang dengan sendirinya akan mati, bukan jiwa, yang
akan terus hidup dalam dirinya dan Allahnya, kendati tubuhnya dibunuh oleh
musuh-musuhnya. Mereka hanya bisa menghancurkan wadah luarnya saja. Ada seorang kafir yang menentang
penindasnya dengan berkata demikian, "Tunde capsam Anaxarchi, Anaxarchum
nom laedis -- Kamu mungkin bisa melecehkan Anaxarchus, tetapi kamu tidak bisa
melukai Anaxarchus sendiri." Permata yang berharga sama sekali
tidak tersentuh. Seneca mengartikan bahwa kita tidak bisa menyakiti manusia
yang bijak dan baik, karena manusia demikian tidak memandang kematian itu
sebagai sesuatu yang sungguh menyakitkan baginya. Si maximum illud ultra quod nihil habent iratæ leges, aut
sævissimi domini minantur, in quo imperium suum fortuna consumit, æquo
placidoque animo accipimus, et scimus mortem malum non esse ob hoc, ne injuriam
quidem -- Jika kita menghadapi saat kematian atau kebinasaan dengan ketenangan
hati dan pengendalian diri -- yang setelahnya hukum yang tidak adil dan
penguasa yang keji tidak punya kekuatan untuk menyakiti kita dan di mana nasib
tidak lagi berkuasa atas kita -- maka kita tahu bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang mengerikan lagi, karena kematian tidak menggoreskan luka sedikit pun
(Seneca, De Constantid).
[2]
Obat yang baik untuk melawan penganiayaan atau kematian adalah takut akan
Allah. Takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun
tubuh di dalam neraka. Perhatikanlah,
pertama,
neraka adalah tempat yang menghancurkan jiwa maupun tubuh; jadi masalahnya
bukan keberadaan dari salah satunya, tetapi bagaimana keberadaan dari keduanya
itu, baik atau tidak, dan ini menentukan kebinasaan manusia itu seluruhnya.
Sebab, jika jiwa hilang, maka tubuh pun hilang. Keduanya berdosa
secara bersama-sama; tubuh adalah penggoda bagi jiwa untuk berbuat dosa, tubuh
merupakan alat untuk berdosa, dan keduanya pun harus menderita bersama-sama
selamanya.
Kedua,
pembinasaan ini datang dari kuasa Allah, Ia berkuasa membinasakan. Pembinasaan
ini dilakukan dengan kemuliaan kekuatan-Nya (2Tes. 1:9). Dalam hal ini Ia akan
menyatakan kuasa-Nya, bukan hanya wewenang-Nya untuk menghukum, melainkan juga
kemampuan-Nya untuk menjalankan hukuman itu (Rm. 9:22).
Ketiga,
oleh karena itu Allah haruslah ditakuti, bahkan oleh orang-orang yang paling
kudus di dunia sekalipun. Dengan menyadari kedahsyatan Tuhan, kita mengajak
sesama manusia untuk tunduk dan hormat kepada-Nya. Kita harus takut akan Dia
sama seperti takut akan murka-Nya, demikian pula sesuai dengan kedahsyatan
murka-Nya itu, demikian pula seharusnya rasa takut kita akan Dia, terutama
karena tidak ada orang yang mengenal kekuatan murka-Nya (Mzm. 90:11). Kalau
Adam saja yang dalam keadaan tidak berdosa merasa hormat dan tunduk oleh karena
suatu ancaman, maka tiada seorang pun murid Kristus yang boleh menyangka bahwa
mereka tidak perlu memiliki perasaan takut yang kudus ini. Berbahagialah orang
yang senantiasa takut akan TUHAN. Allah Abraham, walaupun Abraham sudah mati,
disebut Yang Disegani oleh Ishak, yang masih hidup (Kej. 31:42, 53).
Keempat,
takut akan Allah dan akan kuasa-Nya yang bertakhta di dalam jiwa merupakan
penangkal yang ampuh terhadap perasaan takut manusia. Lebih baik tidak disukai
oleh seluruh dunia daripada tidak disukai oleh Allah, dan karena itu baiklah
bagi kita untuk taat kepada Allah daripada manusia (Kis. 4:19), karena selain
ini baik, hal tersebut juga sungguh aman bagi kita. Orang yang takut terhadap
manusia yang memang akan mati, pasti sudah melupakan TUHAN yang menjadikan
mereka (Yes. 51:12-13; Neh. 4:14). Bersambung