Kamis, 11 Maret 2021

Risalah Yoel Giban

MENGAPA ALLAH TIDAK MENEGUR “HAWA” KETIKA MENGAMBIL BUAH TERLARANG


Menarik untuk dibahas tentang pertanyaan ini, {mengapa Allah tidak menegur Hawa ketika mengambil buah terlarang}dalam konteks ini Allah dengan kebesaran-Nya memilih untuk tidak terlibat langsung dalam pilihan dan keputusan Manusia. Kebungkaman Allah dalam hal ini menimbulkan kontradiksi antar para penafsir terutama para teolog historis kritis, sebab hal itu bertentang dengan sifat dasar Allah yaitu mengetahui segala sesuatu bahkan sebelum melakukannya Allah mengetahuinya. Penegasan ini terlihat dalam teks Yeremia 1:5 "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." serta Yeremia 29:11 bahwa “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan
”.

Kedua ayat diatas memberitahu kita bahwa Allah adalah pribadi yang tidak hanya menciptakan Manusia sesuai dengan gambar dan rupa-Nya (Kejadian 1:26) tetapi juga DIA adalah aktor utama dari plening masa depan manusia, pemikiran tersebut didukung oleh Kejadian 3:15 bahwa “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya". Ayat ini benar-benar merupakan plening Allah untuk penebusan Manusia yang hanya bisa dilakukan oleh pihak Allah tanpa campur tangan manusia.

Hal inilah yang merupakan rahasia Allah dalam merencanakan masa depan bagi Manusia bahwa melalui kejatuhan dalam dosa ALLAH sedang membuat suatu rencana lain yaitu  keselamatan Manusia dan masa depan Manusia itu sendiri. Disisi yang lain Allah adalah pemerakarsa dari segala sesuatu yang melaluinya manusia mendapatkan hak istimewa untuk menerima kelayakan sebagai Anak-Anak Allah. Yohanes 1:12 memberitahu kita bahwa “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya” Ayat ini tidak ada kaitan antara Kejadian 3:15 namun sesungguhnya Allah sudah mempersiapkan diri-Nya sebagai actor utama dalam hide plan untuk adanya suatu pengakuan dan keberkantungan Manusia kepada Allah secara mutlak tanpa mempertanyakan bagaimana dan mengapa, tetapi suatu keharusan manusia adalah percaya kepada-Nya sebagai bukti pengakuan Manusia akan kesalahan yang dibuatnya yaitu DOSA.

Walaupun dalam pandangan Yohanes Calvin ataupun Arminianisme yang keduanya mempunya dukungan ayat Alkitab untuk menjelaskan tentang keselamatan Manusia dari dosa, namun dalam rencana Allah sesungguhnya terdapat  misteri yang tidak dapat dipahami dan dipecahkan oleh pemikiran Manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu. Manusia tidak dapat memahami pemikiran Allah yang tidak terbatas, sebab Allah bersifat transenden baik itu tentang keberadaan-Nya dalam pemikiran Manusia, kecuali manusai hanya dapat memahami-Nya dalam konsep Imanenen. Manusia hanya dapat memahami yang bisa dapat dipahami, diluar dari itu adalah dugaan dan analisis dalam keterbatas dan ketidakmampuannya  oleh sebab itulah Yesaya 55:8-9 Allah mempertegas kepada Manusia bahwa “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu”. Ayat ini sangat tegas memberitahu setiap insan Manusia bahwa analisis mengenai Allah dan keberadaan-Nya yang berada diluar ruang dan waktu adalah suatu kesia-siaan yang mendatangkan paradoksi tentang keberadaan dan kehadiran Allah dalam hidup Manusia.

Allah hanya dapat dipahami dalam kaitan IMAN di dalam Yesus Kristus sebagai pusat penggenapan dari segala nubuatan dalam Perjanjian Lama (PL). Terkait dengan itu Hadiwijono berpendapat bahwa “Allah adalah Mahatinggi, maka IA tidak dapat dilihat oleh Manusia. Bahwa Tuhan Allah tidak dapat dilihat ini juga bukan karena tabiat ilahi-Nya yang gaib, yang tidak berwujud, yang bersifat rohani dan akali, juga bukan karena kesimpulan akal Israel, melainkan karena Tuhan Allah tidak menghendaki dilihat oleh Manusia”[1]. Dari pemikiran diatas dapat dipahami bahwa pribadi yang berada jauh dari hadapan manusia, yang tidak terlihat dan terjangkau oleh manusia dengan keterbatasannya tidak mungkin memahami pemikiran-Nya dan rencana-Nya bagi manusia. Pemikiran-Nya melampaui pemikiran manusia sehingga membicarakan tentang Allah adalah suatu halusinasi manusia yang didorong oleh adanya keingin tahuan manusia tentang Allah dan keberadaan-Nya.

Jika demikian apakah Allah secara mutlak tidak dapat di pahami ? jawabannya adalah ya, secara transendensi memang Allah tidak dapat dipahami oleh Manusia yang terbatas dengan pemikiran yang terbataspula, namun Manusia dapat memahami keberadaan dan kehadiran-Nya hanya dalam konteks Iman. Hanya dengan Iman Manusia dapat mengenal dan memahami kehadiran Tuhan Allah  serta menikmati segala kebaikan dan rencana-Nya yang sempurna itu dalam kehidupan Manusia secara nyata. Allah dalam rencana-Nya mempersiapkan setiap insan manusia untuk mengakui kedaulatan dan kekuasaan-Nya dalam kelangsungan hidup Manusia. Segala yang terjadi dalam hidup manusia adalah dalam rencana dan dalam kedaulatan Allah bagi Manusia itu sendiri. Manusia hanya dapat menikmati yang Allah rencanakan dan sediakan bagi setiap Manusia tanpa terkecuali, semua dalam rencana Allah sehingga tidak ada alasan yang mendasar untuk mengatakan Allah salah dalam memilih dan menentukan seseorang untuk berada dalam dunia ini.

 Sungguh sempurnah untuk memahami pribadi yang diluar pemikiran yang terbatas ini, suatu anugerah terbesar yang Allah sediakan bagi setiap insan untuk mengenal dan memahami betapa hebatnya DIA dalam menciptakan manusia dan memeliharanya serta menghargai segala keputusannya walaupun keputusan itu menjaukan dari hadapan-Nya. Namun Allah dengan Kebesaran-Nya mengasihi Manusia yang berdosa dan mendukakan hati-Nya, dengan kasih yang luabiasa. Dengan demikian apakah kita masih mempertayakan rencana-Nya, ayo sadar dan layanilah DIA sebagai Tuhan atas segala sesuatu yang saudara nikmati, Amin.



[1] Harun Hadiwijono. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Tahun,1982/hlm 89

Statistik Pengunjung