Lukas 22:47-53
Ada perkataan yang berbunyi: “Ungkapkanlah cinta dengan kecupan.” Sesekali, cinta memang perlu diartikulasikan lewat tindakan konkret, seperti kecupan misalnya. Mencium merupakan perasaan suka, bukan ungkapan kebencian. Namun, bagaimana dengan ciuman Yudas kepada Yesus (47)? Apakah itu ekspresi cinta? Atau, ada makna lain di balik ciuman itu?
Siapakah yang menyerahkan Yesus kepada prajurit? Jawabannya mengejutkan, yaitu Yudas, murid-Nya sendiri. Mengapa seorang murid tega menyerahkan gurunya kepada pihak lawan?
Setelah Yudas meninggalkan Yesus di perjamuan malam, ia langsung mencari para imam kepala (Yoh 13:30). Pertemuan itu mengangkat dirinya menjadi pemimpin dalam kesepakatan menangkap Yesus. Pasalnya, ia tahu persis Yesus sedang berada di Bukit Zaitun. Karena selama berada di Betani hampir setiap hari Ia berada di situ untuk menjauhkan diri dari keramaian dan berdoa.
Lalu, apa yang akan dilakukan Yudas supaya para prajurit tidak salah tangkap? Ia memberi tanda sederhana, yaitu dengan ciuman. “Orang yang akan kucium, itulah Dia, ” kata Yudas (Mrk 14:44). Jadi, ciuman itu adalah isyarat, bukan sebagai ungkapan kasih sayang kepada seorang sahabat. Itu ciuman pengkhianatan!
Uniknya, Yesus tidak marah. Ia hanya bertanya, “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” (48).
Menyaksikan drama itu, salah seorang murid maju membela gurunya. Ia menyerang hamba Imam Besar. Dengan sekali tebasan pedang, putuslah telinga kanannya (50).
Ciuman seperti Yudas mungkin pernah kita lakukan. Kita kerap membalut kemunafikkan dengan topeng kasih dan kalimat manis, “Aku mengasihi Engkau, ya Tuhan.” Pada praktiknya, kita lebih mengasihi telepon pintar kita daripada Alkitab. Kita lebih asyik tenggelam dengan gawai daripada merenungkan firman Tuhan.
Mengasihi Tuhan dengan sempurna adalah ketika kita menjadikan-Nya satu-satunya junjungan di atas segala-galanya. Sudahkah kita berbuat demikian? [YGM]