Senin, 25 November 2019

KITA DI TUNTUT MELAKSANAKAN KEBENARAN TERHADAP SESAMA

Matius 7:12-14 (TB)  "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya;karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.

==================

Yesus Tuhan kita menekankan kepada kita perihal melakukan kebenaran terhadap sesama manusia, yang merupakan bagian yang paling mendasar dari ibadah yang sejati. Melakukan Kebenaran merupakan ibadah kepada Allah, yang merupakan sifat dasar dari kebenaran yang universal (berlaku atas manusia di mana saja).

I. Kita harus menjadikan kebenaran sebagai peraturan kita, dan harus diatur olehnya (ay. 12). 

Karena itu, jadikanlah ini sebagai prinsip hidupmu, perbuatlah kepada orang seperti yang kamu kehendaki mereka perbuat kepadamu. Oleh sebab itu, untuk dapat mematuhi perintah-perintah sebelumnya, yang bersifat khusus, yakni supaya kamu tidak menghakimi dan mengecam orang lain, maka ingatlah selalu hukum ini. Kalau tidak ingin dikecam, janganlah mengecam. Atau sebaliknya, patuhilah hukum ini dan kamu akan menerima keuntungan dari janji-janji yang diberikan sebelumnya. Cocoklah kalau hukum keadilan ditambahkan kepada hukum doa, sebab jika kita tidak jujur dalam perilaku kita, maka Allah tidak akan mendengar doa-doa kita (Yes. 1:15-17; 58:6, 9; Za. 7:9, 13). Kita tidak dapat berharap akan menerima pemberian-pemberian yang baik dari Allah, jika kita tidak melakukan hal-hal yang adil dan apa yang mulia, manis, dan sedap didengar bagi sesama. Kita bukan saja harus saleh, tetapi juga harus jujur. Kalau tidak, ibadah kita tidaklah lebih daripada kemunafikan. Nah, berikut ini kita melihat:

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.

Yesus Kristus datang untuk mengajar kita bukan saja mengenai apa yang harus kita ketahui dan percayai, melainkan juga apa yang harus kita lakukan; apa yang harus kita lakukan, bukan saja terhadap Allah, melainkan juga terhadap manusia; bukan saja terhadap sesama murid Tuhan, orang-orang yang segolongan dan seiman dengan kita, tetapi juga terhadap semua orang secara umum, siapa saja yang berhubungan dengan kita. Hukum emas dalam bidang keadilan adalah berbuatlah terhadap orang lain seperti yang kita inginkan mereka berbuat terhadap kita. Alexander Severus, seorang kaisar kafir, sangat mengagumi hukum ini, dan menuliskannya di dinding-dinding kamarnya. Ia sering mengutipnya dalam menjalankan penghakiman, Ia menghormati Kristus, dan menolong orang-orang Kristen karena kaidah tersebut. Quod tibi, hoc alteri -- perlakukanlah orang lain seperti engkau ingin mereka memperlakukanmu. Entah kaidah itu dilihat dari sisi negatif (jangan perbuat ... dst.) atau dari sisi positif (perbuatlah ... dst), hasilnya sama saja. Janganlah kita perbuat kepada orang lain kejahatan yang telah diperbuat mereka terhadap kita, atau kejahatan yang akan mereka perbuat kepada kita, sekiranya mereka bisa melakukannya. Kita juga tidak boleh perbuat sesuatu yang kita pikir dapat kita tanggung dengan baik seandainya itu diperbuat terhadap kita, melainkan perbuatlah apa yang kita ingin orang perbuat terhadap kita. Hal ini didasarkan atas perintah agung, Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Seperti halnya kita harus mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, begitu pula kita harus melakukan kewajiban-kewajiban yang sama baiknya ini kepada mereka. Makna dari kaidah ini terdapat dalam tiga hal.

(1) Kita harus melakukannya terhadap sesama karena kita tahu ini pantas dan masuk di akal. Kita sendiri bisa menilai bahwa hal ini benar dan kita tahu hal ini benar karena ini sesuai dengan kehendak dan pengharapan kita sendiri, yaitu bagaimana jadinya kalau kita sendiri yang mengalami perlakuan orang lain.

(2) Kita harus menempatkan orang lain pada tingkat yang setaraf dengan kita sendiri, dan harus beranggapan bahwa kita sama berutang budinya kepada mereka, seperti mereka kepada kita. Kita sama terikatnya pada tugas-tugas keadilan seperti mereka, dan mereka berhak mendapatkan keuntungan darinya sama seperti kita.

(3) Dalam berurusan dengan orang lain, kita harus menganggap diri kita berada dalam masalah dan keadaan yang sama dengan orang-orang yang berhubungan dengan kita, dan menanganinya sesuai dengan keadaan itu. Seandainya saya mengalami keadaan seperti itu, bersusah payah dalam kelemahan dan penderitaan seperti itu, bagaimanakah saya ingin dan berharap untuk diperlakukan? Dan anggapan seperti ini sah-sah saja, karena kita tahu suatu ketika kita sendiri juga bisa mengalami masalah yang sama. Setidak-tidaknya, seharusnya kita merasa takut, jangan sampai Allah dalam penghakiman-Nya akan perbuat kepada kita apa yang telah kita perbuat kepada orang lain.

Alasan yang diberikan untuk memperkuat kaidah ini. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Kaidah ini adalah ringkasan dari perintah agung kedua, yang merupakan salah satu dari dua perintah yang di atasnya tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (22:40). Perintah agung ini memang tidak disampaikan dengan panjang lebar dalam hukum Taurat maupun dalam kitab para nabi, namun menyimpulkan keseluruhan kitab-kitab itu. Segala sesuatu yang dikatakan di sana yang berkaitan dengan kewajiban kita terhadap sesama (dan jumlahnya tidak sedikit) dapat diringkas dalam perintah agung ini. Di sini Kristus memakai perintah agung ini dan menjadikannya sebagai hukum, yang menyatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang selaras dalam memerintahkan kepada kita untuk melakukan sebagaimana kita juga ingin diperlakukan demikian. Melalui kaidah ini, hukum Kristus ditegakkan, tetapi kehidupan orang-orang Kristen akan dihakimi karenanya. Aut hoc non evangelium, authi non evangelici -- Entah hukum ini bukan Injil, atau orang-orang ini bukanlah orang-orang Kristen.

II. Kita harus menjadikan agama sebagai urusan kehidupan kita dan bersungguh-sungguh dengannya. Kita harus bersikap tegas dan sangat berhati-hati dalam segenap perilaku kita, yang di sini digambarkan seperti memasuki pintu yang sesak, dan berjalan di jalan yang sempit (ay. 13-14). Perhatikanlah di sini,

Penjelasan yang diberikan mengenai buruknya jalan dosa dan baiknya jalan kekudusan. Hanya ada dua jalan, yakni yang benar dan yang salah, baik dan jahat, jalan menuju sorga dan jalan menuju neraka, dan di salah satu jalan itu kita semua sedang berjalan: tidak ada tempat di tengah-tengah, baik di kemudian hari maupun sekarang ini. Pembedaan anak-anak manusia atas orang kudus dan orang berdosa, saleh dan kafir, akan terbawa semuanya sampai ke dalam kekekalan.

(1) Penjelasan yang diberikan kepada kita mengenai jalan dari dosa dan orang-orang berdosa, baik tentang kelebihan maupun kekurangannya.

Hal yang menarik banyak orang untuk datang berbondong-bondong ke dalamnya, dan membuat mereka tetap tinggal di situ. Lebarlah pintu dan luaslah jalan, maka banyaklah pelancong yang melalui jalan itu.

Pertama, "Engkau akan memperoleh kebebasan yang berlimpah ruah di jalan itu. Lebarlah pintu itu, dan terbuka lebar-lebar untuk menggoda orang-orang yang menujunya. Engkau bisa masuk melalui pintu itu dengan membawa semua hawa nafsu yang ada padamu. Tidak ada kekangan bagi segala seleramu, bagi gairah-gairahmu. Kamu boleh berjalan menuruti keinginan hatimu dan pandangan matamu; di sana terasa luas." Luaslah jalan itu, dan tidak ada yang membatasi orang-orang yang berjalan di dalamnya, sehingga mereka dapat berkelana tanpa ujung. Luaslah jalan itu, sebab ada banyak jalan-jalan kecil di dalamnya. Ada banyak pilihan bagi jalan-jalan penuh dosa, yang berlawanan satu sama lain, tetapi semuanya di jalan yang luas ini. 

Kedua, "Kamu akan mempunyai sangat banyak teman di jalan itu: banyak orang yang masuk melaluinya, dan berjalan mengikutinya." Jika kita mengikuti orang banyak itu, maka kita akan melakukan yang jahat. Jika kita berjalan bersama kerumunan orang banyak, maka itu adalah jalan yang salah. Kita memang cenderung mengikuti arah arus, dan berbuat seperti apa yang dilakukan kebanyakan orang. Namun, sungguh sangat disayangkan jika kita bersedia binasa demi teman-teman dan masuk neraka bersama mereka, hanya karena mereka tidak akan masuk sorga bersama kita. Jika banyak yang binasa, kita harus semakin berjaga-jaga lagi.

Yang harus membuat kita takut terhadap jalan itu adalah karena jalan itu menuju kepada kebinasaan. Maut, kematian kekal, berada di ujung jalan itu (dan jalan dosa akan mengantar kita ke sana) kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan. Apakah itu jalan raya kecemaran yang terang-terangan, atau jalan belakang kemunafikan yang ditutup-tutupi, jika itu adalah jalan dosa, maka kita akan binasa, bila kita tidak bertobat.

(2) Berikut ini penjelasan mengenai jalan kekudusan.

Apa yang ada di dalamnya yang membuat banyak orang takut dan menghindarinya. Biarlah kita ketahui yang terburuk darinya, supaya kita mau duduk dan memperhitungkan harga yang harus kita bayar. Kristus berlaku jujur kepada kita dan memberi tahu kita,

Pertama, bahwa pintu itu sesak. Pertobatan dan kelahiran kembali merupakan pintu, yang melaluinya kita memasuki jalan ini, dan di dalam jalan inilah kita memulai kehidupan iman dan kesalehan yang sungguh-sungguh. Kita harus keluar dari keadaan dosa dan memasuki keadaan anugerah melalui kelahiran baru (Yoh. 3:3, 5). Ini adalah pintu yang sesak, yang sulit didapat dan sulit dilalui, seperti celah di antara dua bukit batu (1Sam. 14:4). Harus ada hati yang baru dan roh yang baru, dan yang lama harus berlalu. Kecenderung jiwa harus diubah, berbagai kebiasaan dan adat yang buruk harus dibuang, apa yang selama ini kita lakukan harus dihentikan, dan kita harus memulai dari awal lagi. Kita harus berenang melawan arus; berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam, harus dihadapi dan dipatahkan. Lebih mudah membuat orang melawan dunia daripada melawan dirinya sendiri, namun, hal ini harus terjadi dalam pertobatan. Ini adalah pintu yang sesak, sebab kita harus merunduk agar dapat melaluinya. Kita harus menjadi seperti anak-anak kecil. Pikiran yang tinggi harus direndahkan. Bahkan kita harus menanggalkan semuanya dan menyangkal diri kita sendiri, menanggalkan dunia, dan menanggalkan manusia lama. Kita harus rela meninggalkan semua demi kepentingan kita di dalam Kristus. Sesaklah pintu itu bagi semua orang, tetapi terasa lebih sesak bagi sebagian orang daripada yang lainnya, seperti misalnya bagi orang kaya dan bagi orang-orang yang sudah lama berprasangka buruk terhadap agama. Sesaklah pintu itu, namun demikian terpujilah Allah, karena pintu itu tidak tertutup atau terkunci bagi kita, ataupun dijaga dengan pedang yang menyala-nyala, seperti yang akan terjadi tidak lama lagi (25:10). 

Kedua, bahwa jalan itu sempit. Kita belum akan langsung berada di sorga segera setelah melalui pintu yang sesak itu, atau tiba di Kanaan segera setelah melintasi Laut Teberau. Tidak demikian halnya, kita harus melalui padang gurun terlebih dulu, harus berjalan melintasi jalan yang sempit, dengan dipagari oleh hukum ilahi, yang luar biasa luasnya, sehingga membuat jalan itu sempit. Diri harus disangkal, tubuh harus dikendalikan, dan kejahatan-kejahatan dimatikan seperti terhadap mata yang kanan dan tangan yang kanan. Godaan-godaan sehari-hari harus dilawan, dan kewajiban-kewajiban yang berlawanan dengan kehendak hati harus dilakukan. Kita harus sanggup menanggung kesukaran, harus bergumul dan bersusah payah, harus berjaga-jaga dalam segala perkara, dan berjalan dengan cermat dan hati-hati. Kita harus mengalami banyak sengsara. Ini adalah hodos tethlimmenÄ“ -- jalan penuh penderitaan, jalan yang dipagari dengan duri-duri, namun demikian, terpujilah Allah, sebab jalan ini tidak tertutup. Tubuh yang kita bawa-bawa bersama kita dan kejahatan-kejahatan yang masih tinggal dalam diri kita membuat kita sulit menjalankan kewajiban. Namun, seiring dengan semakin bertumbuhnya pengertian dan kehendak kita, jalan itu pun semakin terbuka meluas, dan akan terasa semakin menyenangkan. 

Ketiga, mengingat begitu sesaknya pintu itu dan begitu sempitnya jalan itu, tidaklah mengherankan bila hanya sedikit orang yang mendapatinya dan memilihnya. Banyak yang melewatkannya begitu saja karena kecerobohan mereka. Mereka tidak mau bersusah-susah mendapatinya. Mereka telah cukup puas dengan keadaan mereka, dan tidak merasa perlu mengubah jalan hidup mereka. Yang lain melihat jalan itu, namun mereka menghindarinya. Mereka tidak suka dibatasi dan dikekang seperti itu. Orang-orang yang sedang menuju sorga itu hanya sedikit, jika dibandingkan dengan orang-orang yang sedang menuju neraka. Yang terakhir ini hanyalah umat yang tersisa, kawanan kecil, seperti sisa-sisa dari panen kebun anggur, dan kedelapan orang yang diselamatkan dalam bahtera (1Ptr. 3:20). In vitia alter alterum trudimus; Quomodo ad salutem revocari potest, quum nullus retrahit, et populus impellit Di jalan-jalan orang jahat, mereka saling mendorong ke depan; jadi bagaimana mungkin orang dapat dibawa kembali ke jalan yang aman, sedangkan ia terus didesak maju oleh banyak orang, tanpa ada kekuatan yang melawan desakan itu? (Dikutip dari Seneca, Epist. 29). Hal ini mengecilkan hati banyak orang. Mereka tidak suka berjalan sendirian, tidak suka menyendiri. Akan tetapi, daripada tersandung karena masalah ini, lebih baik kita berkata, bila hanya begitu sedikit orang yang sedang menuju sorga, tentunya masih ada satu jalan lagi bagiku.

Mari kita lihat apa saja yang ada di jalan ini, yang sekalipun demikian, harus tetap mengundang kita semua untuk mendatanginya. Jalan ini menuju kepada kehidupan, kepada penghiburan dari Allah untuk masa sekarang, yang adalah kehidupan bagi jiwa; menuju kebahagiaan abadi, dan pengharapan akan kebahagiaan yang akan kita terima pada akhir perjalanan kita ini seharusnya membuat kita menanggung segala kesulitan dan ketidaknyamanan yang kita temui di jalan itu. Kehidupan dan kesalehan dipersatukan (2Ptr. 1:3). Sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menanjak itu, tetapi satu jam saja di sorga akan menggantikan semua ketidaknyamanan itu.

Perhatian dan kewajiban utama dari setiap diri kita, dengan mengingat semua hal tadi, adalah: masuklah melalui pintu yang sesak itu. Perkaranya sudah dinyatakan dengan baik dan jelas: kehidupan dan kematian, kebaikan dan kejahatan, beserta masing-masing jalan dan tujuan akhirnya, diperhadapkan kepada kita. Nah, biarlah perkara ini diterima secara keseluruhan, dan dipertimbangkan dengan tidak memihak, lalu setelah itu pilihlah jalan yang hendak kau lewati hari ini. Malah terlebih lagi, perkara itu sudah ditentukan sendiri, dan tidak bisa diperdebatkan lagi. Tidak seorang pun yang berpikiran sehat akan memilih pergi ke tiang gantungan sekalipun jalan menuju ke sana rata dan menyenangkan, atau menolak ditawarkan istana dan singgasana, sekalipun jalan menuju ke sana kasar dan kotor. Namun, kesalahan-kesalahan dan kebodohan-kebodohan yang tidak masuk akal seperti inilah yang dibuat manusia, karena masalah dengan jiwa mereka. Oleh sebab itu, janganlah menunda-nunda lagi, janganlah dengan sengaja menangguhkannya lebih lama lagi, tetapi masuklah melalui pintu yang sesak itu. Ketoklah pintu itu dengan segala doa dan upaya yang tulus dan bersungguh-sungguh, maka pintu akan dibukakan; bahkan terlebih lagi, pintu akan dibukakan lebar-lebar, dan engkau pasti akan memasukinya. Memang benar, kita tidak dapat masuk ataupun terus melangkah tanpa bantuan anugerah ilahi, tetapi, yang ini juga benar, yaitu bahwa anugerah itu ditawarkan dengan cuma-cuma, dan tidak akan ditolak oleh orang-orang yang mencarinya dan yang berserah kepadanya. Pertobatan adalah kerja keras, namun itu diperlukan, dan terpujilah Allah, sebab hal ini tidaklah mustahil, asalkan kita mau berusaha keras (Luk. 13:24). Amin Gbu all



Statistik Pengunjung